Entah kenapa hari itu begitu sakral bagiku dan juga bagi pemeluk
kepercayaan yang sama denganku. Hari itu memang hari spesial bagi umat
islam karena hari itu adalah hari pertama tahun Hijriyah dan bisa
digunakan sebagai hari evaluasi amal perbuatan mereka. Hari itu juga
hari yang bulannya dimuliakan oleh Allah SWT. Dan hari itu kini akan
diperingati sebagai hari santri nasional. Entah apa yang melatar
belakangi itu, aku tak habis pikir.
Dua tahun yang lalu tepat
malam satu muharrom aku merasakan yang namanya kehilangan. Orang yang
menjadi panutanku dalam keluarga kini telah berpulang menuju
kesempurnaan yang hakiki. Sinar bulan kala itu memang indah namun terasa datar bagiku. Aku belum siap menerima peristiwa itu tapi aku harus
tabah menghadapinya. Ayah, masih banyak cerita yang ingin aku bagikan kepadamu
dan banyak pertanyaan dariku yang belum sempat engkau jawab. Ayah, kenapa engkau pergi secepat itu. Ayah, kenapa engkau pergi di saat aku tengah merasakan euforia kebersamaan ini.
Banyak ucapan bela sungkawa datang kepadaku kala itu. Baik secara
langsung ataupun messenger dari berbagai akun media sosialku. Aku yang
sejatinya wanita memang tak bisa menahan derasnya air mata. Aku merasa
berada di fatamorgana tatkala ayahku dikebumikan. Aku merasa di padang
yang gersang. Entah itu nasehat buatku agar selalu mengingat kematian
atau hanya simbol perasaan hatiku saja yang hampa. Aku tak tahu apa arti
itu semua.
Sebulan selepas kepergianku ayahku, aku mulai
menjalani hariku seperti sedia kala. Aku yang notabene seorang
sekretaris di sebuah perusahaan swasta harus bekerja keras agar posisiku
tidak tergeser dengan pesaing. Aku harus segera move on dari peristiwa
itu. Masih banyak urusan yang harus aku kuselesaikan selepas pengambilan
cutiku selama sebulan. Selama sebulan itu, aku mencoba menyepikan diri.
Hanya pesan dari orang yang benar-benar terasa penting bagiku yang aku
balas.
Banyaknya tugas yang menumpuk membuat aku mulai lupa
dengan sosok pria yang sudah satu tahun mengisi ruang hatiku. Ajakan
untuk makan siang bareng juga aku tolak, karena aku memilih makan di
kantor dengan bekal makanan ringan yang aku bawa sambil menyelesaikan
pekerjaanku. Aku jalani aktivitas keseharianku dengan datar begini
adanya. Kerinduan akan sosok imam dalam keluargaku itu semakin
menjadi-jadi saja. Aku tak tahu harus berbuat apa dan mengadu kepada
siapa. Aku semakin tak terarah bagaikan seorang ahli ibadah yang tak
bermahdzab.
Di malam itu mungkin di hari yang sama dengan
kepulangan ayahku, aku lupa karena saking tidak ingin mengingatnya lagi,
aku bermimpi. Entah ini mimpi buruk atau baik aku tak bisa
menyimpulkannya. Aku mimpi berada di alam kubur, aku melihat sosok
lelaki yang meronta-ronta kesakitan. Aku melihat beliau disakiti oleh
dua sosok makhluk, mungkin mereka malaikat penjaga kubur. Aku coba
mendekatinya namun aku takut dengan bentuk kedua mahkluk tersebut. Aku
hanya memperhatikan interaksi mereka. Salah satu dari makhluk terus
mencabuki lelaki itu dengan alasan karena lelaki tidak memperkenalkan
ilmu agama kepada anak-anaknya. Aku merasa prihatin dengan keadaan itu,
ingin menyudahi siksaan itu namun aku hanyalah wanita yang lemah tak
berdaya serta takut akan penampakan makhluk tersebut. Karena saking
tragisnya mimpi itu, aku tak sadar kalau aku terjatuh dari ranjang
tatkala aku terbangun. Hal itu mengingatkanku kepada ayahku. Aku
langsung memanjatkan doa kepada Sang Kholiq agar mengampuni dosa-dosa
ayahku dan agar mengurangi atau menjauhkan siksa kubur bagi mendiang
ayahku. Air mata tak kuasa keluar. Lagi-lagi aku tak kuasa menahan rasa
ini. Aku belum siap atas kepergian ayah. Aku mencoba untuk bersikap
biasa seperti sedia kala namun rasanya canggung dan tak terbiasa
melakukannya. Aku harus tabah dalam menjalani takdir Illahi ini.
Tiga bulan selepas kepergian ayah, aku semakin mendekat kepada Allah.
Aku mulai mengenal 99 nama mulia Allah yang orang sebut dengan asmaul
husna. Aku yang dulu bertanya-tanya, kenapa kok tidak 100 saja. Kini aku
semakin aku mencoba memahami bahwa Allah adalah Dzat yang
membolak-balikkan hati setiap insan. Orang yang dulunya baik bisa saja
diputarkan menjadi orang yang batil, begitu pula sebaliknya. Lantas
inikah yang dijanjikan Allah dalam firmannya,"Sesungguhnya bersama
kesulitan itu ada kemudahan." Tapi aku belum bisa menafsirkannya, ini
nikmat atau ujian. Selepas kepergian ayah, aku menjadi semakin mendekat
kepada sang kholiq. Aku merasa bersalah, kenapa aku tidak melakukan ini
saat ayah masih ada. Kenapa aku tidak membuat ayah tersenyum atas
keshalihanku tatkala beliau masih hidup. Ahh, semua sudah terlambat.
Yang sudah terjadi tak bisa diulangi bak nasi sudah menjadi jujur.
Maafkan aku ayah, tak bisa membuat ayah bangga saat ayah masih hidup.
Aku rindu ayah, semoga Tuhan mempertemukan kita sekeluarga di surga. Semoga aku bisa menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua baik masih hidup ataupun sudah wafat.
Seratus hari ayahku telah tiba. Seperti biasa keluargaku merayakan
dengan ritual yang telah mendarah daging yang orang sebut dengan
selametan. Pembacaan yasin dan tahlil membuatku merinding dan merasakan
kehadiran ayah di tengah-tengah kami. Ada satu ayat dalam yasin yang
membuatku ketakutan untuk bertindak semena-mena. Ayat itu
berarti,"Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang yang mati dan kami
mencatatkan amal yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan, dan segala sesuatu akan kami perhitungkan dalam bukti yang
nyata." (Q.S. Yasin : 12) Ayat tersebut seakan menyadarkan bahwa
gerak-gerikku, perbuatanku selama ini diamati dan dihitung oleh Allah.
Aku kian lemas menghayati ayat itu. Aku hanyalah hamba yang selalu
berbuat dosa. Lantas bagaimana nantinya berat timbangan kala di Yaumul
Hisab. Aku hanya bisa mengucap istighfar untuk memanjat ampun kepada
Allah. Di tengah pembacaan tahlil, aku mencium bau wewangian dari sudut
rumah. Aku enggan untuk bertanya kepada semua orang yang ada. Aku
mencari asal bau tersebut. Seluruh isi ruangan kuselidiki namun tak ada
satu benda pun yang nampak sebagai sumber wewangian itu. Dalam benakku
aku mengira, benarkah ayah hadir dalam ritual suci ini. Aku tak kuasa
untuk menangis, ku lantunkan surat fatihah sebagai sambutan untuk ayah
sekaligus hadiah untuk beliau.
Agenda kali ini ditutup dengan
doa oleh modin yang orang biasa sebut. Aku yang ikut mengamini doa lagi
dan lagi tak kuasa menahan jatuhnya air mata untuk membasahi pipi ini.
"Ya Allah kuatkan hati hamba dalam menghadapi perkara ini" panjatku dalam hati.
Di akhir doa, isak tangisku semakin menjadi-jadi, tak tahu kenapa
bisa begitu. Mungkin karena akhir doa itu yang mengiris hati ini.
Doa
yang berarti seperti demikian :
Ya Allah ! Ya Tuhan kami, berilah kami kebajikan di dunia ; kebajikan di akhirat, dan periharalah kami dari azab api neraka.
Aku mengulang bacaan doa tersebut berkali-kali yang kutujukan untuk
ayah setelah modin mengakhiri bacaan doanya. Ketika bibir mulai lelah
untuk melafalkan doa tersebut segera aku akhiri dengan bacaan ayat
kursi. Ayah maafkan anakmu ini, tak bisa mencontoh Siti Fatimah yang
begitu shalihah dan begitu berkhidmat kepada sang ayahnya baginda
Rasulullah. Aku hanya anak yang termakan oleh globalisasi dan budaya
barat lainnya yang menjadikanku sering menentang perintah dan nasihat
ayah. Ayah aku rindu kebersamaan kita seperti sedia kala. Ayah amini
saja niatku untuk mencoba berkhidmat kepada ibu sebagai wujud maafku
yang tak bisa mematuhi perintahmu ayah.
Aku mulai terbiasa
menjalani hari-hariku tanpa kehadiran ayah di dunia ini. Aku yang
dulunya sering melamun di sela-sela kerjaan kantorku, kini aku mulai
nyaman dengan suasana baru setelah aku sering mengikuti majelis ta'lim
tiap ba'da shubuh walau hanya ada pada setiap hari ahad. Aku bagaikan
bongkahan puzzle yang mulai disusun kembali setelah berantakan. Selepas
kepergian ayah, aku mulai mengenal kembali sholawat kepada nabi yang
dulu waktu aku kecil sering dilantunkan ayah guna mengajariku. Selepas
kepergian ayah, aku mulai sadar betapa pentingnya menuntut ilmu agama
agar memiliki pedoman dalam bertindak. Selepas kepergian ayah, aku
berusaha menjaga auratku agar tidak menjadikan fitnah. Terima kasih
ayah, walau kau telah tiada namun pesonamu selalu menginspirasiku untuk
berbuat lebih baik dari sebelumnya.
Kini lima bulan sudah
hari-hariku kulewati tanpa senyuman ayah yang biasanya kupandang setiap
hari selepas berpamitan kepada ayah. Aku tak boleh terlarut dalam
kesedihan. Namun aku juga dibuat bingung, kenapa aku begitu secepat ini
menghilangkan rasa sedih dalam atas kepergian ayah. Padahal tatkala aku
merasakan orang yang begitu aku sayang dalam hal ini sebut saja pacarku,
aku bisa membutuhkan waktu hampir setahun untuk benar-benar tabah
menerima perpisahan itu. Tapi ketika perpisahanku dengan ayah seperti
saat ini aku hanya butuh satu sampai dua bulan untuk tabah menghadapi
ini. Ini mungkin wujud dari janji-janji Allah yang tersirat dalsm kitab
suci. Namun hal itu juga tidak terlepas dari semangat man jadda wa jada
yang kumiliki. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Ayat tersebut yang selalu jadi pemacu diriku untuk tetap bersyukur dan
menghindari kuffur nikmat.
Tujuh bulan sudah ayah meninggalkan
kami, anak istrinya. Di bulan ketujuh kepergian ayah, aku merayakan hari
kelahiranku. Di usiaku yang sudah matang untuk membangun bahtera rumah
tangga yakni 27 tahun ini, aku banyak mendapatkan percikan kasih sayang
dari lawan jenis baik dari rekan kantor, teman di kala sekolah dan
kuliah dulu bahkan para pemuda kampung yang menjadikanku sebai rebutan
bak piala sayembara. Aku yang belum kepikiran untuk berkeluarga membuat
mereka putus asa. Aku masih ingin sendiri dan ingin memperbanyak
tawassul serta bermunajat dan muhasabah setiap harinya hingga aku
benar-benar siap. Aku juga tak gampang untuk menerima pendamping
hidupku. Aku menginginkan sosok yang bisa menggantikan sosok ayah yang
kupandang sebagai imam yang baik di keluargaku.
Di bulan kesembilan setelah ayah meninggalkanku, aku mulai kembali dalam ketenangan jiwa. Mungkin itu berkah dari seringnya aku mengikuti majelis ta'lim yang dulunya hanya aku ikuti setiap ahad ba'da kini aku menyelakan waktu untuk hadir seminggu tiga kali. Aku takut hatiku akan mati. Dan aku takut tidak bisa beramal dengan baik jika hatiku mati. Di bulan ini juga aku mulai merasakan getaran dalam hati entah dari mana datangnya. Getaran hati ini aku rasakan tatkala aku berangkat ke majelis ta'lim. Apa karena hati ini yang kaku akan ilmu agama atau ada hal lain yang membuatku seperti itu. Aku tak tahu dengan misteri ini.
Di bulan sepuluh aku mulai menyadari kenapa selalu bergetar hatiku tatkala berangkat ngaji. Aku tertarik dengan seorang santri putra yang ada di majelis ta'lim tersebut. Aku tertarik karena begitu khidmatnya dia kepada sang Kyai, guru ngajinya. Tak pernah menolak apa yang diinstruksikan oleh gurunya. Walaupun dia dinilai paling lemah dari segi penguasaan ilmu dan hafalan, namun dia selalu berusaha menjadi yang pertama dalam membahagiakan hati sang guru. "Ya Allah! Apakah lelaki ini yang engkau pilihkan untukku", panjatku dalam hati. Aku terkagum dengan tindak tanduknya. Bagaimana tidak? Kepada orang tua yang bukan orang tua kandungnya saja dia begitu khidmat, lantas bagaimana perlakuannya kepada orang tuanya sendiri. Aku tak boleh langsung menjatuhkan hati ini kepadanya. Aku sadar aku masih butuh mengenalinya lebih dalam.
Selama sebulan aku mencoba mencari tahu informasi tentangnya. Mulai dari nama, tempat tinggalnya, asal usul keluarganya sampai status pekerjaannya sekarang. Aku dapati info dari rekan-rekan yang ikut ngaji di majelis ta'lim tersebut. Ternyata dia memang pujaan di majelis ta'lim itu. Banyak santri putri yang terpesona dengan perangainya. Saking sibuknya dengan upaya pengenalan dengan lelaki itu aku lupa kalau sekarang sudah bulan kesebelas kepergian ayah. Dan bulan depan sudah setahun ayah meninggal putrinya si bungsu ini. Ayah aku rindu engkau! Ayah aku rindu senyumanmu! Ayah aku merasa kosong tatkala mengingatmu.
Tepat setahun sudah aku kehilangan lelaki yang kujadikan pedoman dan pemimpin dalam keluargaku. Aku merasa ingin secepatnya untuk menemukan lelaki pengganti ayah yang bisa memimpin dan membimbingku. Di hari peringatan setahun ayahku meninggal, aku mengundang guru ngajiku di majelis ta'lim untuk memimpin jalannya tahlilan. Di balik sebagai wujud terima kasihku atas beliau, aku juga ingin menceritakan kegalauan hatiku yang ingin segera menemukan pendamping dalam berkeluarga.
Selepas acara tahlilan selesai, aku meminta Kyai untuk mengurungkan sebentar kepamitannya untuk pulang. Aku berkata jujur bahwa aku sedang tertarik dengan seorang santri putra yang sangat khidmat kepada beliau. Aku juga mengatakan bahwa aku rasanya sudah merasa cocok dengan dirinya, walau kami tak pernah berkomunikasi dengan media apapun. Paling hanya sekedar jawaban iya atau tidak yang berikan kepada tatkala aku tanya. Itupun pertanyaanku tidak menyangkut masalah isi kalbu. Pak Kyai malah tertawa mendengar penjelasanku. Mungkin beliau merasa tak heran mendengar hal ini, karena memang pantas dia menjadi idaman wanita banyak. Pak Kyai juga bertanya kepadaku tentang keseriusanku. Aku menjadi gugup tatkala menjawab pertanyaan. Dengan rasa apapun ini namanya aku menjawab kalau aku memang serius telah menjatuhkan hatiku kepadanya. Di dalam ruangan yang hanya ada aku dan pak Kyai terasa semakin genting dengan sikap beliau yang semakin membuatku gugup. Pak Kyai tidak bisa memberikan solusi tentang apa yang aku rasakan saat ini. Namun beliau menyuruhku untuk istiqomah sholat istikhoroh selama tujuh hari. Dan beliau juga menyuruhku untuk memberitahukan hasilnya kepada saat jadwal pengajian.
Setelah kepamitan pak Kyai, aku kembali membantu beres-beres dan setelahnya aku mencari ibuku. Aku menceritakan hal yang sama kepada ibu yang selama ini belum pernah aku kasih tahu. Ibu hanya menjawab kalau dia setuju saja dengan pilihanku asal dia benar-benar lelaki yang baik dan mampu bertanggung jawab. Ibu mulai menceritakan kisah pertemuannya dengan ayah yang saat itu merantau dan tidak sengaja ketemu ibu. Ayah adalah tipikal lelaki yang jantan, tatkala pertama kali melihat ibu langsung tertarik dan langsung mengajak berkenalan. Setelah tahu nama dan alamat ibu, ayah dengan rombongan keluarganya langsung datang ke rumah ibu untuk melamar. Ibu yang tidak tahu dengan niatan itu dibuat bingung, bagaimana mungkin orang yang pertama kali bertemu langsung memberanikan diri untuk melamar. Aku pun dibuat terpingkal. Untung ibu saat itu masih gadis, lantas bagaimana ekspresi ayah kalau tahu ibu sudah bersuami. Di obrolan itu aku dibuat tertawa dengan kisah ayah dan ibu saat awal pernikahan. Dan aku pun tertidur karena kelelahan mendengar dongeng dari ibu.
Seminggu sudah aku melakukan apa yang disarankan oleh pak Kyai, kini saatnya aku mengatakan hasilnya kepada beliau. Selesai pengajian aku menjadikan diriku sebagai orang yang terakhir berpamitan dengan beliau. Aku mengatakan kalau niatanku agar bisa menjadi pria itu sebagai imam di keluargaku kelak semakin kuat. Pak Kyai kembali tertawa dengan apa yang aku katakan. Aku bingung harus berbuat apalagi. Memang secara adat aku sudah bisa dikatakan ngawur. Namun aku sudah tak sanggup lagi dalam kesendirian ini. Aku juga butuh lelaki yang memimpin dan membimbingku. Tanpa aku sadari ternyata pria yang aku kagumi itu menunggu di balik pintu tempatku mengobrol dengan ustadz. Pak Kyai memintanya untuk masuk dan meminta dia yang memberikan jawaban sendiri.
Dia menjawab bahwa dia sebenarnya belum siap untuk berumah tangga. Dia belum punya banyak bekal baik bekal duniawi untuk menafkahiku maupun bekal ukhrawi untuk memimpin dan membimbingku dalam beribadah. Dia mengembalikan kepastian ini kepada pak Kyai. Pak Kyai yang dari tadi hanya tersenyum girang kini mulai terlihat serius. Pak Kyai akhirnya mengeluarkan kata setuju setelah termenung beberapa saat. Namun setujunya pak Kyai ini bukan tanpa syarat, beliau setuju akan pernikahanku dengan pria itu tapi harus tetap semangat dan istiqomah untuk belajar ilmu agama. Namun sebelumnya pak Kyai juga menanyakan kepadaku apakah aku benar-benar bersedia menjadikan pria itu sebagai suami dengan latar belakang yang demikian. Aku memang sudah tahu kalau dia berasal dari keluarga yang sederhana. Dan dia kini tengah mencari pekerjaan setelah baru saja mendapat gelar diploma. Dan dia kini menjadi seorang marbot masjid yang ada di dekat rumah Kyai.
Aku tak peduli dengan latar belakangnya, yang penting sikapnya yang membuat orang lain tidak terbesit untuk bersuudzon kepadanya itulah yang membuatku ingin menjadi pelengkap tulang rusuknya yang hilang. Di akhir perbincangan ini pak Kyai menyuruhku untuk kembali melakukan sholat istikharah, apakah yang aku rasakan ini berlandaskan petunjuk dari Allah atau hasutan hawa nafsu belaka. Aku mengiyakan apa yang diinstruksikan pak Kyai kepadaku.
Tuhan inilah misteri satu muharrom yang Engkau anugerahkan kepadaku. Setahun yang lalu saat satu muharrom aku harus kehilangan sosok pria yang menjadi imam di keluargaku yaitu ayahku, kini satu muharrom aku memberanikan diri untuk meminta persetujuan dari pak Kyai untuk dijodohkan dengan pria yang aku kagumi semenjak aku mengikuti pengajian. Dan berawal dari keberanianku mengatakan perasaan jatuh hatiku ini membawa keberkahan akhirnya kini aku resmi menjadi istri dari lelaki yang dari hari ke hari tiada rasa lelah untuk berkhidmat kepada guru dan orang tuanya. Lelaki yang begitu mengasihi anak-anak, lebih-lebih kepada anak-anak binaan di TPA didikannya. Aku merasa bahagia. Dan tak henti-hentinya aku mengucapkan hamdallah ketika semua saksi yang hadir mengatakan "sah" di acara akad nikahku. Terima kasih Ya Allah.