Kontradiksi di tengah Nausea
Mereka
membuat dua kubu yang saling menghujatnya. Satu kubu berniat menghantamnya
dengan omongan yang terasa merusaknya disebut si kiri, dikubu lain berniat
memuji akan kenyamanan darinya disebut si kanan. Dan inilah celotehan dari
kubu-kubu itu.
Si
kiri berkata, “Dia kadang dinanti setiap insan untuk bepergian mencari tempat
yang nyaman. Dia selalu ditunggu sebagian umat untuk pergi bertobat. Entah
kenapa dia begitu istimewa bagi mereka yang merasa? Entah kenapa dia terasa
begitu magis bagi mereka yang memburu nilai magis?”
Tak
cukup dengan itu si kiri mempertegas dengan demikian, “Tak ada penjelasan yang
membuktikan kenapa dia yang begitu sakral. Kita tenggok apa yang terjadi ketika
dia telah dinikmati. Pemburu upah datang telat dengan dalih menyalahkannya
karena membuat diri menjadi penat. Para penggaji pun turut dicari-cari karena
lelah bersafari. Apa yang salah darinya
begitu tragis nasibnya menjadi sasaran alasan setiap nyawa”
Tak
terima dengan kicauan si kanan mencoba untuk membelanya, “Dia memang sacral tapi
dia bukan pembawa sial. Dia tak begitu tragis asalkan semua tak berbuat sinis. Dia
bukan hanya jujukan umat tapi juga penghilang penat. Dia juga beda
dengan yang lainnya. Dia berada di kepungan warna hitam kelam. Lantas mana yang
salah darinya kalau dia tak berbuat ulah.”
Itulah
kontradiksi akibat kemunculannya. Kontradiksi yang tergantung pada persepsi
setiap insani. Insani yang mempermasalahkan dengan duniawi atau insani yang merasa
diantarkan ke surgawi. Bahkan insani yang tak mempersalahkannya begitu berarti
karena tak tahu harus bagaimana menyikapi.
0 komentar :
Posting Komentar