Minggu, 02 Juni 2019

Masih Belum Berakhir

Episode 2 dari Trilogi cerpen ku yang berjudul 
"3 Arah 2 Jalan 1 Tujuan"

Tak tahu dari mana lagi ku harus memulai cerita yang dulunya berisi suka. Kisah yang sebenarnya ingin ku tulis lagi, namun kini  pena yang dulu kupakai mulai luntur tintanya. Kisah tentang perjalanan tiga orang sahabat yang memiliki ciri khas yang berbeda. Kisah yang belum menemukan akhir ceritanya hingga kami telah benar-benar tiada dari dunia. Rasa rindu yang menderu membuatku semangat untuk menulis cerita yang biasa ku tulis saat penghujung senja.

Kisah ini akan terasa berbeda dari kisah yang lalu. Di mana kisah yang lalu diambil tatkala kami masih pada fase putih abu-abu. Kini kami telah mulai tumbuh dewasa dan mulai bisa membedakan mana hal yang pasti dan mana hal yang rancu. Tumbuh karena zaman yang membuat kami harus saling beradu. Beradu dengan keadaan yang membuat kami memang harus benar-benar singkirkan rasa malu. Buat apa malu, jikalau yang dikerjakan tidak melanggar aturan-aturan yang berlaku. Malu itu jikalau sudah memulai tertarik dengan lawan jenis, namun modalnya masih minta pada ayah ibu.

Gambar mungkin berisi: 3 orangLangsung saja kumulai kisah ini dari salah satu sahabatku. Ya, masih ingatkan kalian dengan sosok Ilud yang sangat lugu. Sosok yang bisa dibilang cuek dengan lingkungan sekitar namun pemikirannya yang kritis membuat geleng-geleng banyak bapak-ibu guru dulu. Tapi entah kenapa, dia sekarang menurunkan ritme pola pikirnya itu. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi pada sahabatku itu. Yang kukenal dia adalah sosok yang tak mudah menyerah walaupun beribu-ribu masalah menyerbu.

Oh ya, aku ingat akan sesuatu tentang dirinya. Dia kini tengah dalam masa-masa sulit, karena dia berada di fase akhir perkuliahannya. Di tahun ketujuh perkuliahannya, dia masih belum bisa menyelesaikannya tugas akhirnya. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Tak pernah kudapati kendornya semangat dirinya di kala SMA. Padahal di kala itu saat ibunya meninggal pun, dia tak pernah sedikitpun menciutkan asanya. Aku pun juga tidak tahu apa dia sedang bergejolak dalam hal asmara. Sehingga pikirannya terbagi, antara fokus menyelesaikan tugas akhir atau ada sosok wanita yang membelokkan tujuannya.

Ilud yang kukenal sangat canggung tatkala berdekatan dengan lawan jenis, meskipun yang didekatnya bak bidadari. Tapi dia memang memiliki prinsip tak ingin bermain-main dalam asmara, dia tidak berharap ada hati yang tersakiti. Lebih baik fokus pada tujuan awal, yakni membuat orang tua bangga tatkala kita sebagai seorang anak mampu memenuhi amanah yang telah diberikan oleh orang tua jauh-jauh hari. Ya begitulah katanya, setiap ditanya kenapa enggan berdekatan dengan wanita, padahal dia sempat menambatkan hatinya pada salah satu mahasiswi.

Pernah suatu kali kucoba untuk menghubungi dirinya. Ku mulai dengan basa-basi menanyakan bagaimana keadaan dirinya dan perkuliahannya. Perlahan tapi pasti dia bercerita tentang semua yang terjadi pada dirinya. Sampai pada satu titik dia mulai serius dalam bercerita. Di titik itu dia tengah bercerita tentang keadaan ekonomi keluarganya. Dia cerita kalau ayahnya terlilit banyak hutang yang membuat rumahnya disita.

Di tengah tragedi itu dia harus membagi konsentrasi pikirannya, antara studi dan masalah ekonomi. Aku tahu dia adalah sosok yang tangguh untuk menghadapi hal semacam ini. Walhasil dia memutuskan untuk cuti dari studinya, dan memilih bekerja untuk sementara pada suatu kedai di dekat tempat dia kuliah yang kebetulan sama dengan kampusnya Pak Presiden saat ini. Dia tak merasa malu dengan apa yang dia jalani kini. Karena itu semua untuk memenuhi biaya studinya yang tinggal sebentar lagi. Dia tak ingin merepotkan ayahnya lagi dan merelakan uang sakunya kini digunakan untuk melunasi hutang serta sebagai tambahan persiapan adiknya yang akan masuk ke Perguruan Tinggi.

Di masa-masa sulitnya dia mulai jarang ke kampus untuk berkonsultasi akan tugas akhir kepada dosen pembimbingnya. Dan dia pun lupa akan tanggungan mata kuliah yang harus diulangnya. Suatu hari dia mendapat telepon pihak akademik untuk kembali ke kampus guna melanjutkan studinya. Dia mulai bimbang, karena uang yang diperolehnya dari bekerja di kedai itu belum cukup untuk membayar iuran pendidikannya. Dia memberanikan diri meminjam uang kepada juragannya, yang tidak disangka ternyata beliau berasal dari daerah yang sama. Karena merasa sesama seperantauan bahkan satu daerah, sang juragan, sebut saja Pak Sugeng memberikannya dia pinjaman bahkan dilebihi sebagai tambahan uang sakunya.

Dia akhirnya berpamitan ke Pak Sugeng dan tak lupa berterima kasih atas kebaikan beliau. Pak sugeng pun berpesan agar dia segera menyelesaikan kuliahnya supaya benar-benar mendapat kerja yang sesuai dengan studinya itu. Kini dia mulai menumbuhkan spiritnya untuk menyelesaikan apa yang ditempuhnya di kampus itu. Perlahan dengan pasti dia kembali menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa yang kesana-kemari membawa buku. Tak lupa note kecil selalu tersimpan di saku baju. Hal itu yang selalu mengingatkanku padanya, begitulah ciri khas dirinya yang tak ingin melewatkan satu pelajaranpun tidak tercatat di note itu. Sejak di SMA dia sudah melakukan hal itu. Ya, dia memang sosok yang begitu special bagiku. Si lugu dan cerdik yang kadang membuatku terkagum akan gagasannya yang dia terangkan padaku.

Karena dia kembali kepada masa-masa serius dan memanglah harus tetap fokus. Aku mulai jarang bertegur sapa via telepon ataupun chat yang dulu kita lakukan terus-menerus. Aku sedikit merenggangkan intensitas berhubungan dengannya agar dia tetap berada di jalan yang lurus. Berada pada tujuannya untuk menjadi seperti Prof.Ir. Soedarwono Hardjosoediro yang jenius. Sebelumnya ku ingatkan kepadanya agar sholat lima waktu jangan sampai putus. Agar tetap menjadi cendikiawan yang religius.  Dan itulah sedikit kisahku tentang dia yang tengah berjuang melawan arus.

Nah, sekarang aku akan menceritakan kisah dari sahabatku yang lain. Iya siapa lagi kalau bukan Mitra, sang ketua rohis yang dari dulu selalu berkepribadian bukan main. Meski bergaya minimalis, dia sering menjadi trend setter yang sukar ditebak, membuat dia dulu sering dijuluki menjadi the blind mind. Langsung saja kita masuk ke dalam perjuangannya di kota  Ahmad Dhani dilahirin. Yaps, tepatnya dia memilih mengambil di Universitas Airlangga dan tentu tidak mengambil jurusan Sains. Jelas sudah alasannya, karena dia saat SMA  memilih jurusan IPS dan  tentunya berbeda di antara kami yang lain.

Di kampus yang memiliki motto Excellence with Morality dia memilih jurusan sosiologi, sesuai dengan keinginannya saat di bangku sekolah. Dan di kota pahlawan itu, dia sering pergi ke Jembatan Merah. Katanya, di situ dia seolah kembali tersedot pada masa perjuangan rakyat Surabaya melawan penjajah. Dia memang tipikal orang yang senang melancong, terlebih ke tempat bersejarah. Selain menambah wawasannya, ternyata juga sebagai sarana untuk menghilangkan keluh kesah. Dari sanalah dia mulai berubah, dia yang dulu canggung di hadapan wanita, kini malah dia yang awal menjajakan wajah.

Aku tahu betul kenapa itu bisa terjadi. Di kala SMA dulu, dia pernah kandas cintanya oleh salah satu siswa yang dia cintai. Sebenarnya sangat tidak layak bila harus ku bagi di sini. Tapi memang sewajarnya tidak perlu dibagi, karena itu juga aib sahabatku sendiri. Tapi tak apalah, harus ku tuang kisah itu di sini. Sebut saja dia Anisa, siswi yang dulu bersemayam di hati sang ketua SKI ini. Berpenampilan islami, dengan hijab yang panjang yang ia pakai setiap hari. Tapi di balik penampilan bernuansa religinya itu, ada satu hal yang membuat merasa aneh pada dirinya yang jauh dari pandangan kami. Iya, dia adalah penggemar K-Pop yang bisa dibilang maniak, yang kesana-kemari selalu memberikan kabar terbaru dari artis K-Pop yang dia sukai.
Terkesan aneh bagiku karena dia adalah cewek berparas Arab. Yang kutahu orang Arab itu  sangat ketat dalam menjaga adab. Baik cara pergaulan dengan lawan jenis maupun tata cara berucap. Orang Arab pasti kesal kalau dia nanya tapi tidak dijawab. Kembali pada sosok Anisa, siswi di SMA kami yang kesehariannya sering memakai logat Amiyah atau bahasa pasarannya orang Arab. Satu hal yang unik lainnya dari Anisa adalah hampir setiap hari selalu membawa bekal kalau tidak Roti Maryam ya Kebab. Sungguh budaya Arab melekat pada dirinya, sampai teman-teman menjuluki “Si Gadis Kebab”.

Namun sayang hubungan keduanya tidak direstui oleh abahnya Anisa. Abahnya ternyata memang melarangnya berpacaran dan dia menyembunyikan hal ini semua. Kisah cintanya terbongkar setelah si abah memergoki isi pesan yang ada di HP Anisa, aku ingat kala itu dia masih memakai HP merk Mokia. Si Abah yang bertampang garang membuat banyak dari kami cowok satu sekolah menjadi takut mendekati Anisa. Pernah suatu ketika aku diajak Mitra ke rumah Anisa untuk meminjam kamera. Saking takutnya ketemu abanya Anisa, kami harus rela menunggu berjam-jam agar bisa berjumpa dengan Anisa. Karena kami akan leluasa bila di rumah tersebut si abah tidak ada.

Lanjut lagi pada kisah Mitra sahabatku, sosok yang menemaniku berangkat ke ranah perantauan untuk mengikuti tes beasiswa. Beasiswa bagi siswa kurang mampu yang ingin kuliah, sebut saja nama lembaganya Kantong Dhuafa. Beasiswa yang sebenarnya bagus secara sistem, namun sayang di dalamnya seakan-akan digiring untuk berpola pikir pada salah satu partai yang kala itu digandrungi mahasiswa. Loh, kenapa aku malah bicara tentang kisahku yang seharusnya tak perlu diketahui khalayak manusia. Kembali pada sosok yang Mitra selalu berpesan kepadaku agar tetap kuliah meskipun bagaimana pun kondisinya. Memang terbukti di kala aku minder karena masalah biaya, akhirnya aku berhasil mendapatkan beasiswa. Mungkin ini juga berkat doanya yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.

Mitra, di SMA dulu dia sering dipanggil petruk. Aku tidak tahu kenapa julukan itu tersemat kepada temanku yang tatkala kuliah mulai menyukai makanan khas Madura, yaitu Nasi Buk. Setahuku petruk dalam pewayangan adalah sosok jenaka yang sering memberi petuah agar manusia selalu tunduk. Tunduk kepada Tuhan yang telah menilai apa yang kita kerjakan di dunia ini termasuk hal yang baik atau hal yang buruk. Dengan prinsip yang dia pegang itu, dia selalu menjadi panutan teman-teman yang lain, baik yang kurus ataupun yang gemuk. Dia juga tidak pelit untuk berbagi ilmu, sering kali ilmu-ilmunya dia bagikan di grup facebook. Ya begitulah si petruk, di balik cengengesannya tersimpan sifat tawadhu’.

Mitra yang kukenal memang senang bercanda. Namun dibalik candanya itu, selalu diselipi nasehat-nasehat ringan, itu wujud kepeduliannya pada kami sahabatnya.  Walau terkadang nasehatnya terkesan pedas, tapi kami sahabatnya selalu menerima dengan lapang dada. Satu lagi ciri khas yang tak bisa kulupakan dan mungkin oleh semua temannya, dia kalau lagi kumpul-kumpul tak pernah sibuk dengan gadgetnya. Ya namanya juga anak sosial yang pasti sangat peka dengan keadaannya di sekitarnya. Berbeda dengan aku yang anti sosial, tidak suka dengan keramaian orang serta sangat canggung dengan lingkungan yang pertama ku jumpa.

Semasih dia di kota pahlawan, aku sering kali mengunjunginya di setiap libur semester. Dan sekalinya kesana, dia sering mengajakku muter-muter. Salah satu tujuan muter-muter kami tentunya ya wisata kuliner. Karena dia tahu betul kalau aku ini suka Mie, maka dibawalah aku ke Mie Pecun, yang jarak dari kost-annya beribu-ribu meter. Tak apalah sedikit menikmati panasnya kota ini, ya walaupun sebenarnya daripada keluar rumah lebih enak mager. Dan dia juga tahu kalau aku hobi membaca, maka diajaklah aku ke tempat “me time” paling nyaman dan tentunya dengan udara yang seger. Namanya Libreria Eatery dengan salah satu menunya yang mengusik perhatianku bernama Noach Platter.

 Kembali ke pribadinya, dia adalah sosok yang rajin. Untuk hal akademik, dia luar biasa bukan main. Berbeda dengan aku dan ilud yang kadang memang lebih fokus pada hal yang lain. Sejak SMA dia sering dijadikan utusan kelas untuk ikut olimpiade antar kelas ataupun antar sekolah, ya bisa dibilang dia langganan rutin. Sikap disiplin dirinya ternyata meneladani pemain bola idolanya Cristiano Ronaldo, pemain yang penuh dengan skill dan adrenaline. Banyak diberitakan kalau Ronaldo tiap kali latihan, selalu datang paling awal dan pulang paling akhir, kalau bahasaku sih nyebutnya fil awwalin wal akhiriin. Begitu pula mitra, dia selalu datang paling pagi di sekolah meskipun di hari itu dia tidak dapat giliran piket rutin. Dan di kala pulang sekolah dia juga pulang akhir karena dia terbiasa mendiskusikan hal yang dia rasa belum paham dengan para temannya yang kutu buku, kadang malah pulang lebih awal kalau aku dan ilud ngajak dia main. 

Semenjak terakhir kali aku mengunjunginya, kami mulai jarang berkomunikasi kembali. Bukan karena sebuah masalah, tetapi memang karena tuntutan amanah yang membuat kami jarang bertegur sapa walau hanya sebulan sekali. Sampai pada suatu hari, aku mendapat kabar bahwa Mitra telah meninggalkan dunia ini. Aku baru membuka ponsel ku malam hari, karena aku tak punya paket data untuk mengakses internet di ponsel buatan negeri orang sipit ini. Ternyata Mitra meninggal dunia pada siang harinya, dan membuatku sedikit tidak percaya. Bagaimana tidak, sosok yang kuanggap sebagai saudaraku sendiri meninggal karena sebuah K3LH.

Gambar mungkin berisi: luar ruangan
Tanpa sengaja dia tertimpa muatan barang-barang berat dari truk yang di depannya. Kenapa senaas itu dia harus mengakhiri hidupnya. Dari hati yang terdalam sampai tidak terima dengan kepergiannya. Pasti sangat dirindukan gelak tawanya, cara bicaranya dan sikapnya yang bersahaja. Pemuda sederhana yang tak pernah pilih-pilih untuk dijadikan temannya. Tak pernah pula memandang rendah orang yang secara ekonomi ada di bawahnya. Pemikir simple yang kami memang harus meneladinya. Semoga engkau tenang di surga sana, oh sahabatku Mitra.

Mungkin cukup di sini kisah ini harus kuukir. Berakhir untuk sementara sembari kami meniti karir. Kami tidak akan pernah berhenti untuk mengubah takdir. Terlebih takdir pahit yang harus kami terima akan kepergian kawan kami Mitra, sang pioneer. Kami lawan dengan selalu menyebut namanya setiap dipanjatkan doa dalam majlis dzikir. Masih banyak pula rintangan kehidupan agar kami benar menjadi ‘orang’ yang tidak mudah diplintar-plintir.  Dan menjadi sosok yang kuat dari tetangga yang suka nyinyir. Doakan kami agar bisa menjadi pelaku sejarah bukan penumpang dalam kehidupan yang disetir oleh seorang sopir. Karena banyak permasalahan yang harus terpecahkan dan sejatinya kisah ini memang masih belum berakhir.

0 komentar :

Posting Komentar