Entah bagaimana
caranya harus kuterjemahkan permasalahan ini. Detik kian mengumpul menjadi
menit, menit menyatu menjadi jam, dan jam pun berputar membentuk hari. Aku
tetap berdiri sendiri di sini dengan masalah yang sama. Apakah ini yang
dikatakan penyair bahwa aku telah melakukan “kesalahan yang sama” atau hanya
terpaku untuk “menanti sebuah jawaban”. Semua menyerangku dengan cara yang tak seperti biasa,
tapi aku masih bisa seperti
biasa.
Aku sendiri
hanya seorang lelaki yang tidak banyak memiliki romansa perjalanan cinta.
Bahkan bisa dikatakan aku ini adalah sosok yang asing asmara. Rasanya terlalu
sulit hati ini untuk menjalankan pilihan pada seorang perempuan. Tapi, bukan
tidak pernah untuk menjalin kasih sayang. Dan aku masih seperti biasa dengan
semua itu. Memang seraut wajahku juga lumayan tampan. Cukup untuk menggoda dewi
asmara memihak diriku. Tapi aku tak mau mengungkapkan hatiku padamu wahai
tulang rusukku yang hilang.
Apa-apaan ini,
akun semakin ngentur saja. Tiada hentinya aku membicarakan sosok wanita dalam
setiap kisahku. Aku tak akan banyak berkutik untuk kali ini saja. Aku cukup
sakit dibuatnya. Aku hanya akan mencoba
berbagi pengalaman tentang. Fenomena yang hangat diperbincangkan saat ini oleh
mereka penjaja dan pemburu info di balik terpal warung kopi.
Kepulanganku
kali ini diambang batas antara kenyamanan dan tidak. Aku nyaman karena bisa
kembali berkeluh kesah di balik dekapan bunda yang tak letih mendengar curahan
hatiku sang pegiat semangat yang tak jarang mendapat banyak laknat. Meskipun
begitu, aku masih seperti biasa.
Aku nyaman di
rumahku ini walau sering cecurut
menemani tidurku dengan jeritan kelaparannya. Aku nyaman berada di sini meski
para pengisap darah tak ayal menyergapku hingga sampai ke bokong. Dasar jingklong tak
tahu malu, aurat pun kau terjang dengan nasfumu. Iya tak apa-apa, aku masih
seperti biasa.
Aku tak mau
membicarakan ketidaknyamananku. Aku tak mau membuat orang lain terharu karena
itu juga membuatku malu. aku tak mau ada yang tersinggung oleh ucapanku. Aku
tak akan banyak berbual. Aku juga tak akan menjadi frontal terlebih sampai
berbuat binal. Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Engkau tahu apa yang hamba-MU
ini mau. hamba hanya bisa berucap dan tak banyak untuk berbuat dengan langkah
tegap. Engkau memang sosok yang luar biasa, tapi aku masih seperti biasa.
Cukup seperti
itulah aku bermelankolis dengan rasa yang tidak tentu ini. Aku mulai kisah yang
ingin kubagi ini dengan seteguk kopi pengantar aktivitas pagi. Kisah ini
berawal dari warung rakyat. Sarapan di warung yang jarang kulakukan di sana.
Kulahap berita yang dibumbui dengan pedasnya perbincangan dari beberapa rasa
dengan khas yang berbeda.
Bawang merah
yang menggebu-gebu membuat pedih mata ini seperti kala aku mengupasnya. Bawang
putih membuat aku mual tatkala aku mengunyahnya mentah-mentah. Kusisihkan cabai
yang memang tak kusukai dan kuganti dengan saos yang dibuat dengan cara instant. Itulah penafsiranku tentang
sarapan yang tak biasa kulakukan di sana. Iya, memang tak biasa, tapi aku masih
seperti biasa.
Memang ini yang
dibilang pesta rakyat. Uang saku dikantongi wong
cilik dari calon pejabat. Apakah ini yang disebut nikmat? Atau hanya ajang
untuk merendahkan martabat? Aku tak bisa banyak untuk berbuat, aku juga tak
pandai untuk mendebat. Aku hanya mencoba membenarkan dengan sebuah pendapat.
Aku coba muntahkan semua bumbu yang tak cocok untuk aku embat.
Aku
memberanikan diri untuk bicara kepada pemburu nikmat sesaat yang tak mau aku
kutuk dengan julukan sesat. Lantas aku bilang kepada mereka “Kenapa kalian
tidak mencoba untuk menggugat? Kenapa kalian tidak meminta pesta rakyat ini
setiap ahad?”. Semua terperangai hingga sampai mengernyitkan jidat. Mereka
mulai menampakkan mimik yang tidak biasa, tapi aku masih seperti biasa.
Kutinggalkan
mereka dengan wajah biasa dan tak akan lupa kubayar semua yang kusantap tadi. Aku pergi mencari hal baru
lagi yang jarang kutemui. Tak lama setelah itu, kutemui banyak kurir suara
berlabuh dari atap ke atap. Sang kurir bergaya dengan membawa tas berlengan
satu yang tak jauh beda dari penarik hutang milik bank perkreditan rakyat. Aku
mulai menerka bahwa isi dari tas itu adalah bom dan peluru untuk para algojo
yang berperang esok hari. Esok hari adalah hari yang tak biasa, tapi
aku akan tetap seperti biasa.
Sang algojo pun
tak nampak bodoh, semua amunisi mereka terima meski dari klan yang
berbeda-beda. Algojo itu sama halnya dengan pengemis yang meletakkan segelas
air mineral kosong dan memakai kerudung untuk melindunginya dari panas. Iya,
mereka semua saja, entah di sini ataupun di sana. Mereka pandai berganti wajah
yang tak biasa, sedangkan aku masih seperti biasa.
Hari semakin
siang, waktu eksekusi pun semakin dekat. Amunisi sudah di tangan mereka,
tinggal menunggu bidik sasaran untuk dipasang dalam sebilik ruang tarung. Aku
tak ingin kelewatan untuk memerhatikan pagelaran lima tahunan ini. Aku hanya
pemerhati saja, aku bukan petarung yang bisa berbuat curang dengan menaruh
ranjau untuk menjegal lawan. Memang itu cara yang tak biasa aku perhatikan,
tapi aku masih seperti biasa.
Kulihat arena
telah dirapikan oleh pekerja dadakan dengan bayaran seadanya. Walau cukup
rokok, kopi dan nasi bungkus yang mereka dapat. Terop pelindung dipasang agar
tidak mencederai ekseskusi esok hari. Semua pekerja melakukan intruksi dengan
cara yang tak biasa dan aku masih seperti biasa.
Akhirnya hari
yang dinanti telah datang. Lampu sorot arena telah menyala dengan terang. Para
algojo mengantre giliran untuk menggunakan haknya. Aku tak habis fikir, peluru
mana yang akan terlebih dahulu mereka pakai dari sekian banyak amunisi yang
mereka terima itu. Aku juga semakin bingung, kenapa aku tak mendapat sentilan
sedikitpun dari mereka. Apa aku belum lihai untuk mengeksekusi dengan tepat?
Atau aku terlihat terlalu biasa sehingga membuat mereka menaruh curiga padaku.
Ah, itu hanya perasaanku saja. Tapi mengapa mereka nampak tak biasa, padahal
aku masih seperti biasa.
Pagelaran ini
telah berakhir, semua algojo mungkin telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Penonton mulai berkurang tatkala sesi pengumuman. Apa mereka sudah tak peduli
dengan hasil yang ada? Bukankah itu hasil dari yang mereka kerjakan? Atau
mereka hanya menggugurkan kewajiban untuk memainkan peran sebagai algojo
sehingga tak tahu esensi atas apa yang mereka perbuat? Masihkah ini disebut
sebagai pesta rakyat kalau rakyat dibuat tak mengerti apa-apa? Mereka dibuat
bingung untuk mengeksekusi dengan banyaknya amunisi yang ada. Ya, memang
beginilah kondisi demokrasi negeri yang kekayaan alamnya teramat banyak sangat.
Banyak dari mereka tak berupaya mengamati apa yang diamanatkan. Demi sebuah
kursi, mereka rela tikung sana-sini. Ya beginilah kondisi yang tak biasa dari
hari yang wajar. Aku pun akan tetap seperti biasa.
Hanya sampai di
situ kisahku kali ini. aku yang selalu seperti biasa bukan berarti aku tak
peka. Aku hanya tak mau memasang wajah berbeda seperti halnya mereka sang
pemburu nikmat dunia. Aku bukan pengemis harta dunia. Aku hanya fakir pahala
yang tak luput dari dosa. Aku hanya pegiat yang memperjuangkan harkat dan
martabat. Aku hanya segelintir orang yang sering dihujat. Aku tak tahu harus
berbuat bagaimana. Aku bahagia karena aku masih seperti biasa.
Ku tulis pada tanggal 9 April 2014
Ku tulis pada tanggal 9 April 2014
0 komentar :
Posting Komentar