Kamis, 22 Mei 2014

Aku Masih Seperti Biasa



Entah bagaimana caranya harus kuterjemahkan permasalahan ini. Detik kian mengumpul menjadi menit, menit menyatu menjadi jam, dan jam pun berputar membentuk hari. Aku tetap berdiri sendiri di sini dengan masalah yang sama. Apakah ini yang dikatakan penyair bahwa aku telah melakukan “kesalahan yang sama” atau hanya terpaku untuk “menanti sebuah jawaban”. Semua menyerangku dengan cara yang tak seperti biasa, tapi aku masih bisa seperti biasa.
Aku sendiri hanya seorang lelaki yang tidak banyak memiliki romansa perjalanan cinta. Bahkan bisa dikatakan aku ini adalah sosok yang asing asmara. Rasanya terlalu sulit hati ini untuk menjalankan pilihan pada seorang perempuan. Tapi, bukan tidak pernah untuk menjalin kasih sayang. Dan aku masih seperti biasa dengan semua itu. Memang seraut wajahku juga lumayan tampan. Cukup untuk menggoda dewi asmara memihak diriku. Tapi aku tak mau mengungkapkan hatiku padamu wahai tulang rusukku yang hilang.
Apa-apaan ini, akun semakin ngentur saja. Tiada hentinya aku membicarakan sosok wanita dalam setiap kisahku. Aku tak akan banyak berkutik untuk kali ini saja. Aku cukup sakit dibuatnya. Aku hanya akan  mencoba berbagi pengalaman tentang. Fenomena yang hangat diperbincangkan saat ini oleh mereka penjaja dan pemburu info di balik terpal warung kopi.
Kepulanganku kali ini diambang batas antara kenyamanan dan tidak. Aku nyaman karena bisa kembali berkeluh kesah di balik dekapan bunda yang tak letih mendengar curahan hatiku sang pegiat semangat yang tak jarang mendapat banyak laknat. Meskipun begitu, aku masih seperti biasa.
Aku nyaman di rumahku ini walau sering cecurut menemani tidurku dengan jeritan kelaparannya. Aku nyaman berada di sini meski para pengisap darah tak ayal menyergapku hingga sampai ke bokong. Dasar jingklong tak tahu malu, aurat pun kau terjang dengan nasfumu. Iya tak apa-apa, aku masih seperti biasa.
Aku tak mau membicarakan ketidaknyamananku. Aku tak mau membuat orang lain terharu karena itu juga membuatku malu. aku tak mau ada yang tersinggung oleh ucapanku. Aku tak akan banyak berbual. Aku juga tak akan menjadi frontal terlebih sampai berbuat binal. Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Engkau tahu apa yang hamba-MU ini mau. hamba hanya bisa berucap dan tak banyak untuk berbuat dengan langkah tegap. Engkau memang sosok yang luar biasa, tapi aku masih seperti biasa.
Cukup seperti itulah aku bermelankolis dengan rasa yang tidak tentu ini. Aku mulai kisah yang ingin kubagi ini dengan seteguk kopi pengantar aktivitas pagi. Kisah ini berawal dari warung rakyat. Sarapan di warung yang jarang kulakukan di sana. Kulahap berita yang dibumbui dengan pedasnya perbincangan dari beberapa rasa dengan khas yang berbeda.
Bawang merah yang menggebu-gebu membuat pedih mata ini seperti kala aku mengupasnya. Bawang putih membuat aku mual tatkala aku mengunyahnya mentah-mentah. Kusisihkan cabai yang memang tak kusukai dan kuganti dengan saos yang dibuat dengan cara instant. Itulah penafsiranku tentang sarapan yang tak biasa kulakukan di sana. Iya, memang tak biasa, tapi aku masih seperti biasa.
Memang ini yang dibilang pesta rakyat. Uang saku dikantongi wong cilik dari calon pejabat. Apakah ini yang disebut nikmat? Atau hanya ajang untuk merendahkan martabat? Aku tak bisa banyak untuk berbuat, aku juga tak pandai untuk mendebat. Aku hanya mencoba membenarkan dengan sebuah pendapat. Aku coba muntahkan semua bumbu yang tak cocok untuk aku embat.
Aku memberanikan diri untuk bicara kepada pemburu nikmat sesaat yang tak mau aku kutuk dengan julukan sesat. Lantas aku bilang kepada mereka “Kenapa kalian tidak mencoba untuk menggugat? Kenapa kalian tidak meminta pesta rakyat ini setiap ahad?”. Semua terperangai hingga sampai mengernyitkan jidat. Mereka mulai menampakkan mimik yang tidak biasa, tapi aku masih seperti biasa.
Kutinggalkan mereka dengan wajah biasa dan tak akan lupa kubayar semua yang kusantap tadi. Aku pergi mencari hal baru lagi yang jarang kutemui. Tak lama setelah itu, kutemui banyak kurir suara berlabuh dari atap ke atap. Sang kurir bergaya dengan membawa tas berlengan satu yang tak jauh beda dari penarik hutang milik bank perkreditan rakyat. Aku mulai menerka bahwa isi dari tas itu adalah bom dan peluru untuk para algojo yang berperang esok hari. Esok hari adalah hari yang tak biasa, tapi aku akan tetap seperti biasa.
Sang algojo pun tak nampak bodoh, semua amunisi mereka terima meski dari klan yang berbeda-beda. Algojo itu sama halnya dengan pengemis yang meletakkan segelas air mineral kosong dan memakai kerudung untuk melindunginya dari panas. Iya, mereka semua saja, entah di sini ataupun di sana. Mereka pandai berganti wajah yang tak biasa, sedangkan aku masih seperti biasa.
Hari semakin siang, waktu eksekusi pun semakin dekat. Amunisi sudah di tangan mereka, tinggal menunggu bidik sasaran untuk dipasang dalam sebilik ruang tarung. Aku tak ingin kelewatan untuk memerhatikan pagelaran lima tahunan ini. Aku hanya pemerhati saja, aku bukan petarung yang bisa berbuat curang dengan menaruh ranjau untuk menjegal lawan. Memang itu cara yang tak biasa aku perhatikan, tapi aku masih seperti biasa.
Kulihat arena telah dirapikan oleh pekerja dadakan dengan bayaran seadanya. Walau cukup rokok, kopi dan nasi bungkus yang mereka dapat. Terop pelindung dipasang agar tidak mencederai ekseskusi esok hari. Semua pekerja melakukan intruksi dengan cara yang tak biasa dan aku masih seperti biasa.
Akhirnya hari yang dinanti telah datang. Lampu sorot arena telah menyala dengan terang. Para algojo mengantre giliran untuk menggunakan haknya. Aku tak habis fikir, peluru mana yang akan terlebih dahulu mereka pakai dari sekian banyak amunisi yang mereka terima itu. Aku juga semakin bingung, kenapa aku tak mendapat sentilan sedikitpun dari mereka. Apa aku belum lihai untuk mengeksekusi dengan tepat? Atau aku terlihat terlalu biasa sehingga membuat mereka menaruh curiga padaku. Ah, itu hanya perasaanku saja. Tapi mengapa mereka nampak tak biasa, padahal aku masih seperti biasa.
Pagelaran ini telah berakhir, semua algojo mungkin telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Penonton mulai berkurang tatkala sesi pengumuman. Apa mereka sudah tak peduli dengan hasil yang ada? Bukankah itu hasil dari yang mereka kerjakan? Atau mereka hanya menggugurkan kewajiban untuk memainkan peran sebagai algojo sehingga tak tahu esensi atas apa yang mereka perbuat? Masihkah ini disebut sebagai pesta rakyat kalau rakyat dibuat tak mengerti apa-apa? Mereka dibuat bingung untuk mengeksekusi dengan banyaknya amunisi yang ada. Ya, memang beginilah kondisi demokrasi negeri yang kekayaan alamnya teramat banyak sangat. Banyak dari mereka tak berupaya mengamati apa yang diamanatkan. Demi sebuah kursi, mereka rela tikung sana-sini. Ya beginilah kondisi yang tak biasa dari hari yang wajar. Aku pun akan tetap seperti biasa.
Hanya sampai di situ kisahku kali ini. aku yang selalu seperti biasa bukan berarti aku tak peka. Aku hanya tak mau memasang wajah berbeda seperti halnya mereka sang pemburu nikmat dunia. Aku bukan pengemis harta dunia. Aku hanya fakir pahala yang tak luput dari dosa. Aku hanya pegiat yang memperjuangkan harkat dan martabat. Aku hanya segelintir orang yang sering dihujat. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Aku bahagia karena aku masih seperti biasa.

Ku tulis pada tanggal 9 April 2014

0 komentar :

Posting Komentar