[(masih) bukan] Tulisan Ilmiah
Dengan berbekal uang 37 ribu yang diperoleh dari temannya, dia nekat
pulang kampung tanpa peduli harga tiket kendaraan umum yang tengah beroperasi. Tepat
pukul tujuh pagi seiring waktu dhuha bersambut, dia berangkat dari kandangnya
di ranah perantauannya. Langkah tegap mengiringi dirinya menuju tempat
pemberhentian angkot. Sepuluh sasmpai dua puluh meter dia berjalan dengan
tegapnya, namun setelahnya dia kembali letoy dan semakin sempoyongan bak orang
mabuk. Namun dia bukanlah pemabuk pada umumnya. Dia hanyalah pemabuk cinta dan
kasih sayang Tuhannya.
Tak lama setelah kesempoyongannya langkah dia terhenti karena angkot
yang dia nanti telah telah tiba sebelum dia sampai ke halte. Dan bersegeralah
dia masuk ke dalam angkot agar dapat bergegas ke terminal. Sesampai di terminal
dia menjadi bingung karena keramaian di saat suasana hatinya sedang sepi.
Keramaian yang diperbuat oleh sopir bus yang asyik memanaskan mesin bus, kenek
dan kondektur yang berlarian mencari penumpang termasuk dirinya, pedagang asongan
yang menjajakan dagangannya, pengamen yang sedang mengatur nada gitar dan
polisi yang mengatur lalu lintas yang telah diamanahkan oleh negara untuknya
yang kadang disiakan.
Ditariklah dia oleh kenek tadi. Sehabis itu diapun duduk walau wajah
kesepiannya masih tampak jelas terlihat. Pengamen yang menyanyikan lagu syahdu
nan sedu pun tak digubris olehnya yang masih menghayati kesepiannya dengan
memandang ke arah yang tak tentu. Memang tak sulit untuk membaca pikirannya,
karena keluguan wajahnya membuat orang tak canggung untuk mengobrol dengannya
hingga mudahlah membaca isi hati dan pikirannya.
Beberapa terminal telah dilalui bus yang dia tumpangi. Namun kondisi
psikisnya masih seperti halnya demikian. Aktivitasnya yang hanya memasang
tatapan ke luar jendela. Dia hanya melihat pemandangan alam hadiah dari Sang
Maha Kaya dan mulai tertidur. Lantas apa yang sebenarnya yang ada dalam benak
dirinya.
Empat jam sudah dia tempuh dalam perjalanan dan masih saja dia dalam
kondisi yang sama. Penumpang lain yang dari tadi bersamaan dengannya semakin
menaruh rasa penasaran dengan sikapnya. Rasa penasaran itu tidak berani
diungkapkan karena mereka pun tak kuasa untuk bertanya kepadanya yang semakin
menikmati suasana demikian. Satu terminal lagi dia akan sampai pada tempat yang
dia tuju dan dia masih saja berlagak seperti orang gila dengan wajah yang tak
tentu.
Kini dia telah tiba di terminal kota yang dia tuju, wajahnya masih
menyimpan rasa penasaran bagi orang lain. Saat dia turun dari bus, dia
berpapasan dengan seorang penjaja minyak wangi arab berjubah hijau. Si penjual
menaiki bus namun tetap mengawasi pergerakkannya yang terlihat tak biasa. Tak selang
berapa lama sang penjual turun dari bus dan bergegas mencarinya yang memang
membuat orang penasaran. Sang penjual pun menemukannya di tempat Yu Gemi si
penjual kopi.
Dia tengah mengisap sebatang rokok kretek. Entah apa yang sedang
dipikirkannya hingga dia melakukan hal demikian. Dia lumuri rokoknya dengan
kopi yang masih panas itu. Terasa dibuat penasaran oleh kelakuannya, si penjual
pun mendekatinya. Sewajarnya orang baru kali pertama bertemu, si penjual
menanyakan nama, asal, dan basa-basi ala Indonesia punya. Dia tengah sibuk
dengan rokoknya hingga menjawab pertanyaan itu pun susah dan hanya dia dengan
nada datar.
Si penjual mulai kesal dengan gelagat dan jawabannya. Tanpa berbasa-basi
lagi, si penjual bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia
merasa aneh dengan pertanyaan itu. Semenjak awal keberangkatannya tak ada satu
pun orang berupaya mengajaknya untuk berkontak sosial. Malah si penjual yang
baru saja ketemu tak lebih dari 10 menit setelah berpapasan tadi lah yang peka
dengan kondisinya.
Dia merasa tersanjung atas kepekaasi penjual. Dia pun mulai tak canggung
mengungkapkan tentang apa yang sedang dia rasakan sebenarnya. Dia menceritakan
bahwa kepulangannya kali ini untuk menemui ustadnya yang telah lama tak pernah
ia sambangi sejak dia masuk kuliah. Dia juga menceritakan bahwa maksud
kunjungan ke ustadnya adalah untuk meminta pendapat dari beliau akan benih
cinta yang muncul dalam hatinya. Dia menceritakan bahwa dia kini tengah dibuat
mabuk kepayang oleh seorang mahasiswi fakultas kedokteran.
Dia mengatakan kalau kunjungan tidak lebih dari hal itu saja, namun
kunjungan untuk merapatkan ikatan silaturahim yang renggang. Dia juga
mengatakan bila bertanya lewat sms ataupun telepon pun terkadang sulit untuk
diterjemahkan jawaban dari sang ustad. Ustadnya memang akan memberikan bahasa
yang lebih mudah dipahami bila santrinya mau datang langsung menemuinya.
Dia menceritakan ke si penjual tentang ciri fisik dan psikis ustadnya. Dia
hanya bercerita sebatas itu saja dan tak mau berbagi cerita terkait ciri wanita
yang membuatnya jatuh hati. Dia hanya bercerita bahwa wanita itu selalu hadir
dalam doa dan mimpinya. Di dalam doanya dia memohon untuk didekatkan apabila
mereka memang berjodoh dan meminta untuk mewajarkan perasaannya bila dia belum
jodohnya. Dia juga menceritakan bahwa dia rindu pada nasi goreng dan kopi
buatan ibunya yang setiap pagi selalu ada dalam meja makan rumahnya. Dia rindu
segala masakan ibunya yang dimasak secara spesial tatkala dia pulang kampung.
Satu batang rokok telah ia isap dengan nikmat. Menyadari hal itu, ia
segera menghabiskan kopinya yang mulai mendingin pula. Nampak jam sudah mulai
siang dan ia bergegas meneruskan perjalanan menuju rumahnya. Tak lupa ia
membayar dan lantas berpamitan dengan Yu Gemi dan si penjual yang mau
mendengarkan cerita. Dia sangat berterima kasih kepada mereka. Si penjual yang
tersentuh akan kisahnya memberikan satu botol kecil minyak wangi kepadanya. Dia
berusaha menolaknya, namun si penjual tetap keukeuh untuk memberikannya. Karena
tak ingin berlama-lama lagi diapun menyerah untuk menerimanya. Dia jabat tangan
si penjual dan cium tangannya. Kalimat sholawat dan salam untuknya mengakhiri
pertemuannya dengan si penjual.
0 komentar :
Posting Komentar