Jumat, 11 April 2014

Kepulangannya

[(masih) bukan] Tulisan Ilmiah
Dengan berbekal uang 37 ribu yang diperoleh dari temannya, dia nekat pulang kampung tanpa peduli harga tiket kendaraan umum yang tengah beroperasi. Tepat pukul tujuh pagi seiring waktu dhuha bersambut, dia berangkat dari kandangnya di ranah perantauannya. Langkah tegap mengiringi dirinya menuju tempat pemberhentian angkot. Sepuluh sasmpai dua puluh meter dia berjalan dengan tegapnya, namun setelahnya dia kembali letoy dan semakin sempoyongan bak orang mabuk. Namun dia bukanlah pemabuk pada umumnya. Dia hanyalah pemabuk cinta dan kasih sayang Tuhannya.
Tak lama setelah kesempoyongannya langkah dia terhenti karena angkot yang dia nanti telah telah tiba sebelum dia sampai ke halte. Dan bersegeralah dia masuk ke dalam angkot agar dapat bergegas ke terminal. Sesampai di terminal dia menjadi bingung karena keramaian di saat suasana hatinya sedang sepi. Keramaian yang diperbuat oleh sopir bus yang asyik memanaskan mesin bus, kenek dan kondektur yang berlarian mencari penumpang termasuk dirinya, pedagang asongan yang menjajakan dagangannya, pengamen yang sedang mengatur nada gitar dan polisi yang mengatur lalu lintas yang telah diamanahkan oleh negara untuknya yang kadang disiakan.
Ditariklah dia oleh kenek tadi. Sehabis itu diapun duduk walau wajah kesepiannya masih tampak jelas terlihat. Pengamen yang menyanyikan lagu syahdu nan sedu pun tak digubris olehnya yang masih menghayati kesepiannya dengan memandang ke arah yang tak tentu. Memang tak sulit untuk membaca pikirannya, karena keluguan wajahnya membuat orang tak canggung untuk mengobrol dengannya hingga mudahlah membaca isi hati dan pikirannya.
Bus pun berjalan namun hatinya belum juga beranjak dari kesepiannya. Pengamen juga telah usai mendendangkan beberapa lagu. Entah apa yang dipikirkan olehnya hingga dia semakin sulit untuk beranjak dari kesepian yang terus menginjak. Memang mimik wajahnya mudah untuk ditebak, tapi isi di dalam hatinya sulit terbaca oleh psikolog sekaliber apapun itu. Selepas pengamen itu tak ada lagi yang bisa mengubah mimik wajahnya dari kesepian.  Pedagang asongan yang berlalu lalang pun tercampakkan olehnya.
Beberapa terminal telah dilalui bus yang dia tumpangi. Namun kondisi psikisnya masih seperti halnya demikian. Aktivitasnya yang hanya memasang tatapan ke luar jendela. Dia hanya melihat pemandangan alam hadiah dari Sang Maha Kaya dan mulai tertidur. Lantas apa yang sebenarnya yang ada dalam benak dirinya.
Empat jam sudah dia tempuh dalam perjalanan dan masih saja dia dalam kondisi yang sama. Penumpang lain yang dari tadi bersamaan dengannya semakin menaruh rasa penasaran dengan sikapnya. Rasa penasaran itu tidak berani diungkapkan karena mereka pun tak kuasa untuk bertanya kepadanya yang semakin menikmati suasana demikian. Satu terminal lagi dia akan sampai pada tempat yang dia tuju dan dia masih saja berlagak seperti orang gila dengan wajah yang tak tentu.
Kini dia telah tiba di terminal kota yang dia tuju, wajahnya masih menyimpan rasa penasaran bagi orang lain. Saat dia turun dari bus, dia berpapasan dengan seorang penjaja minyak wangi arab berjubah hijau. Si penjual menaiki bus namun tetap mengawasi pergerakkannya yang terlihat tak biasa. Tak selang berapa lama sang penjual turun dari bus dan bergegas mencarinya yang memang membuat orang penasaran. Sang penjual pun menemukannya di tempat Yu Gemi si penjual kopi.
Dia tengah mengisap sebatang rokok kretek. Entah apa yang sedang dipikirkannya hingga dia melakukan hal demikian. Dia lumuri rokoknya dengan kopi yang masih panas itu. Terasa dibuat penasaran oleh kelakuannya, si penjual pun mendekatinya. Sewajarnya orang baru kali pertama bertemu, si penjual menanyakan nama, asal, dan basa-basi ala Indonesia punya. Dia tengah sibuk dengan rokoknya hingga menjawab pertanyaan itu pun susah dan hanya dia dengan nada datar.
Si penjual mulai kesal dengan gelagat dan jawabannya. Tanpa berbasa-basi lagi, si penjual bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia merasa aneh dengan pertanyaan itu. Semenjak awal keberangkatannya tak ada satu pun orang berupaya mengajaknya untuk berkontak sosial. Malah si penjual yang baru saja ketemu tak lebih dari 10 menit setelah berpapasan tadi lah yang peka dengan kondisinya.
Dia merasa tersanjung atas kepekaasi penjual. Dia pun mulai tak canggung mengungkapkan tentang apa yang sedang dia rasakan sebenarnya. Dia menceritakan bahwa kepulangannya kali ini untuk menemui ustadnya yang telah lama tak pernah ia sambangi sejak dia masuk kuliah. Dia juga menceritakan bahwa maksud kunjungan ke ustadnya adalah untuk meminta pendapat dari beliau akan benih cinta yang muncul dalam hatinya. Dia menceritakan bahwa dia kini tengah dibuat mabuk kepayang oleh seorang mahasiswi fakultas kedokteran.
Dia mengatakan kalau kunjungan tidak lebih dari hal itu saja, namun kunjungan untuk merapatkan ikatan silaturahim yang renggang. Dia juga mengatakan bila bertanya lewat sms ataupun telepon pun terkadang sulit untuk diterjemahkan jawaban dari sang ustad. Ustadnya memang akan memberikan bahasa yang lebih mudah dipahami bila santrinya mau datang langsung menemuinya.
Dia menceritakan ke si penjual tentang ciri fisik dan psikis ustadnya. Dia hanya bercerita sebatas itu saja dan tak mau berbagi cerita terkait ciri wanita yang membuatnya jatuh hati. Dia hanya bercerita bahwa wanita itu selalu hadir dalam doa dan mimpinya. Di dalam doanya dia memohon untuk didekatkan apabila mereka memang berjodoh dan meminta untuk mewajarkan perasaannya bila dia belum jodohnya. Dia juga menceritakan bahwa dia rindu pada nasi goreng dan kopi buatan ibunya yang setiap pagi selalu ada dalam meja makan rumahnya. Dia rindu segala masakan ibunya yang dimasak secara spesial tatkala dia pulang kampung.

Satu batang rokok telah ia isap dengan nikmat. Menyadari hal itu, ia segera menghabiskan kopinya yang mulai mendingin pula. Nampak jam sudah mulai siang dan ia bergegas meneruskan perjalanan menuju rumahnya. Tak lupa ia membayar dan lantas berpamitan dengan Yu Gemi dan si penjual yang mau mendengarkan cerita. Dia sangat berterima kasih kepada mereka. Si penjual yang tersentuh akan kisahnya memberikan satu botol kecil minyak wangi kepadanya. Dia berusaha menolaknya, namun si penjual tetap keukeuh untuk memberikannya. Karena tak ingin berlama-lama lagi diapun menyerah untuk menerimanya. Dia jabat tangan si penjual dan cium tangannya. Kalimat sholawat dan salam untuknya mengakhiri pertemuannya dengan si penjual.

0 komentar :

Posting Komentar