[(masih) Bukan Tulisan Ilmiah]
Keberangkatanku
ke kota yang belum pernah aku jamah sebelumnya tentu berkesan sekali. Bisa dibilang
mengesankan dan memalukan, sebab aku merasa orang yang bodoh akan seluk-beluk
kota ini. Akupun juga tak terlalu mempersiapkan diri ini untuk beradaptasi
dengan logatnya yang terasa asing di telinga ini. Tanpa takut jadi apa ke
depannya, aku beranikan diri saja berangkat sendirian ke sana.
Bebarengan
dengan adzan dhuhur, aku tiba di stasiun tempat pemberangkatanku. Aku berlagak
bodoh kepada satpam dengan bertanya ke satpam terkait lokasi penukaran tiket online. Aku memang sudah mengetahuinya
tapi aku hanya mengadakan sebuah kontak sosial dengan civitas society lainnya yang bisa menambah berkah. Aku berterima
kasih padanya dan memulai petualanganku kali ini.
Penukaran
tiket giliranku telah usai. Aku langsung bergegas memasuki peron dengan
melewati pengecekan dulu tentunya. Aku mencari tempat dudukku setelah itu. Aku langsung
duduk saja saat bertemu bangku paling depan di tiket tertulis 1A tanpa melihat
kelas gerbongnya. Ketika seseorang lain datang aku masih nyantai dengan
kesalahan yang memalukan ini. Kami ngobrol berpuluh-puluh menit hingga tiba
saat pemeriksaan tiket. Aku terpaksa terdepak dari bangku nyaman kelas bisnis
menuju bangku sesak kelas ekonomi. Ah sudahlah.
Saat berada
di gerbong yang seharusnya aku tempati pun, aku merasa aneh. Aku bertemu dengan
dua orang berseragam tentara yang memang aku benci dan satu orang memakai
celana pendek 3/4 dan berkaca
mata hitam laksana Ian Kasela. Dari awal hingga akhir perjalanan pun kami tidak
sempat berkenalan nama. Kami hanya berkenalan profesi dan asal saja. Apakah jaman
sekarang itu lebih mengutamakan untuk mengenal profesi dan asal daerah saja? Dan
ketika berjumpa di tempat yang berbeda kita saling panggil dengan gelar profesi
kita. Kalau mereka secara profesi terpandang ya tentu senang dengan itikad
seperti ini, tapi bagi mereka yang berprofesi hanya sebagai buruh atau maaf
kalau sebagai maling? Apakah itu tidak sebuah diskriminasi terhadap suatu kaum
yang termarginalkan. Ah sudahlah. Negeri ini kaya akan kebudayaan.
Hal itu
sudah teramat nyaman dengan kami sekarang. Di sepanjang perjalanan kami hanya
bertukar bekal makanan laksana anak SD sedang memperingati hari besar. Di sela
melatih ketajaman gigi dan kekuatan mulut untuk mengunyah kami saling berbagi
cerita. Mulai dari seorang TNI yang berasal dari mojoker**, dia bercerita kalau
dia dulunya adalah preman kampung. Dengan rasa keberanian kepremanannya dia
mendaftarkan dirinya menjadi anggota TNI dan langsung diterima. Dia bercerita
kalau sensasi pergi ke daerah angker ataupun hutan belantara dengan menggunakan
seragam loreng berbeda jika tanpa menggunakan seragam loreng. Entah apa yang
menyebabkan demikian. Aku pun jika masih mikir di mana rasionalisasi secara ilmiahnya.
Satu orang
TNI yang lain tak banyak bercerita, dia hanya mengeluh tentang kelaparannya dan
mahalnya nasi goreng di kereta api ini. Tiba-tiba pria berkacamata itu
nyeletuk, dia memperkenalkan bahwa dia adalah sopir truck trailer dari perusahaan asing (sebut saja petro***). Dia kemudian
memandang tajam wajah kedua anggota TNI dan memulai kisahnya. Dia memohon maaf
karena kisahnya bisa menyindir institusi si loreng itu.
Dia bercerita
bahwa dia pernah memergoki istrinya di bawa ke sebuah losmen oleh anggota TNI
(armed) di daerah Batu. Awal perkara ketika sang istri yang ditinggal olehnya
ke luar kota untuk mengais rezeki itu. Sang istri mengaku hanya diajak untuk
menghadiri acara pernikahan salah satu teman anggota TNI tersebut. Namun naas
saat pulang dari lokasi resepsi hasrat dan nafsu TNI bengal itu muncul untuk
mengajak wanita itu ke losmen.
Memang
Allah itu Maha Berkehendak. Entah ada angin apa kejadian itu berlangsung ketika
pria itu hendak pulang kampung. Sang anak yang merasa ada yang ganjil dengan
keadaan ini menelpon bapaknya yang kebetulan perjalanan pulang itu. Sang anak
melapor kalau ibunya dari siang belum pulang dari acara pernikahan tersebut. Sungguh
bukan kebetulan lagi, sang pria yang dengan mata kepalanya sendiri melihat
istrinya dibonceng dengan pria lain berseragam loreng yang mengendari motor
ninja RR itu. Awalnya dia masih menduga bahwa dia salah melihat. Ketika truck
yang dia kendarai sudah mendekati mereka dia sangat tersentak dengan kejadian
itu. Dia memutuskan untuk mengikuti terus dan berhenti di pos ojek untuk
mengejar mereka.
Sampailah
mereka ke sebuah losmen. Sang suami yang tak gegabah menunggu hingga beberapa
menit. Memang itu yang diajarkan bapaknya yang seorang pahlawan seroja. Lima belas
menit berlalu, dia memberanikan diri untuk mendobrak pintu kamar losmen
tersebut. Memang sesuai apa yang dikira, dia mendapati keduanya sedang khusyu’
dalam hubungan intim yang dilaknat Allah ini. Si pria itu malah memarahi sang
suami. Karena merasa dalam posisi benar dia memberanikan diri untuk melawannya.
Sang istri yang tak ingin ada keributan yang menyebabkan keduanya malu akhirnya
memisahkan keduanya dan langsung mengaku kalau pria yang mendobrak itu adalah
suaminya bukan petugas losmen yang iseng ngintipin orang begaul.
Sang suami
yang sakit hatinya melihat kejadian ini, langsung mengabari keluarganya dan
keluarga sang istri. Di malam itu pun semua berkumpul untuk merundingkan
masalah ini. Namun apa daya, kisah percintaan kedua insan yang dianugerahi dua
anak ini harus berakhir dengan status perceraian malam itu juga lewat talak
yang diucapkan oleh sang suami. Perundingan itupun dihadiri si hidung belang,
dia memberanikan diri untuk menyeletuk kepada kucing garong itu. Dia mengatakan
kalau sebenarnya dia tidak takut dengannya, dia hanya takut dengan seragam yang
dia pakai. Sang istri yang tak ingin semua panas meredakannya dan memerintahkan
untuk tidak melaporkan kejadian ini kelembaga si kucing garong itu agar tidak
di phk.
Aku yang
mendengar cerita itu tersentuh dan terenyuh untuk meneteskan air mata ini. Dan tak
tahan pula tangan ini untuk menjabat tangannya untuk mendoakan agar diberikan
sabar dan ketabahan ini. Ya itulah kehidupan, bila ada kesempatan langsung saja
diembat tanpa mikir akibat. Ya memang kadang orang berfikir demikian “kucing
endi seng gak gelem lak diwehi pindang” atau “kucing mana yang gak mau, kalau
dikasih ikan pindang”.
0 komentar :
Posting Komentar