Kamis, 24 April 2014

Kepergianku

[(masih) Bukan Tulisan Ilmiah]

            Keberangkatanku ke kota yang belum pernah aku jamah sebelumnya tentu berkesan sekali. Bisa dibilang mengesankan dan memalukan, sebab aku merasa orang yang bodoh akan seluk-beluk kota ini. Akupun juga tak terlalu mempersiapkan diri ini untuk beradaptasi dengan logatnya yang terasa asing di telinga ini. Tanpa takut jadi apa ke depannya, aku beranikan diri saja berangkat sendirian ke sana.
            Bebarengan dengan adzan dhuhur, aku tiba di stasiun tempat pemberangkatanku. Aku berlagak bodoh kepada satpam dengan bertanya ke satpam terkait lokasi penukaran tiket online. Aku memang sudah mengetahuinya tapi aku hanya mengadakan sebuah kontak sosial dengan civitas society lainnya yang bisa menambah berkah. Aku berterima kasih padanya dan memulai petualanganku kali ini.
          
  Nggak ada angin nggak ada hujan, semua penumpang berdesak-desakan memperebutkan giliran. Kenapa ini semua masih bisa terjadi Tuhan? Padahal jelas terpampang dengan font 36 bahkan 72 tertulis “HARAP ANTRI”. Sungguh ironis sekali budaya negeri ini. Aku pun hanya mengalah karena aku masih bisa membacanya. Aku berpikiran positif mungkin mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Jadi teringat sebuah iklan deh.
            Penukaran tiket giliranku telah usai. Aku langsung bergegas memasuki peron dengan melewati pengecekan dulu tentunya. Aku mencari tempat dudukku setelah itu. Aku langsung duduk saja saat bertemu bangku paling depan di tiket tertulis 1A tanpa melihat kelas gerbongnya. Ketika seseorang lain datang aku masih nyantai dengan kesalahan yang memalukan ini. Kami ngobrol berpuluh-puluh menit hingga tiba saat pemeriksaan tiket. Aku terpaksa terdepak dari bangku nyaman kelas bisnis menuju bangku sesak kelas ekonomi. Ah sudahlah.
            Saat berada di gerbong yang seharusnya aku tempati pun, aku merasa aneh. Aku bertemu dengan dua orang berseragam tentara yang memang aku benci dan satu orang memakai celana pendek 3/4 dan berkaca mata hitam laksana Ian Kasela. Dari awal hingga akhir perjalanan pun kami tidak sempat berkenalan nama. Kami hanya berkenalan profesi dan asal saja. Apakah jaman sekarang itu lebih mengutamakan untuk mengenal profesi dan asal daerah saja? Dan ketika berjumpa di tempat yang berbeda kita saling panggil dengan gelar profesi kita. Kalau mereka secara profesi terpandang ya tentu senang dengan itikad seperti ini, tapi bagi mereka yang berprofesi hanya sebagai buruh atau maaf kalau sebagai maling? Apakah itu tidak sebuah diskriminasi terhadap suatu kaum yang termarginalkan. Ah sudahlah. Negeri ini kaya akan kebudayaan.
            Hal itu sudah teramat nyaman dengan kami sekarang. Di sepanjang perjalanan kami hanya bertukar bekal makanan laksana anak SD sedang memperingati hari besar. Di sela melatih ketajaman gigi dan kekuatan mulut untuk mengunyah kami saling berbagi cerita. Mulai dari seorang TNI yang berasal dari mojoker**, dia bercerita kalau dia dulunya adalah preman kampung. Dengan rasa keberanian kepremanannya dia mendaftarkan dirinya menjadi anggota TNI dan langsung diterima. Dia bercerita kalau sensasi pergi ke daerah angker ataupun hutan belantara dengan menggunakan seragam loreng berbeda jika tanpa menggunakan seragam loreng. Entah apa yang menyebabkan demikian. Aku pun jika masih mikir di mana rasionalisasi secara ilmiahnya.
            Satu orang TNI yang lain tak banyak bercerita, dia hanya mengeluh tentang kelaparannya dan mahalnya nasi goreng di kereta api ini. Tiba-tiba pria berkacamata itu nyeletuk, dia memperkenalkan bahwa dia adalah sopir truck trailer dari perusahaan asing (sebut saja petro***). Dia kemudian memandang tajam wajah kedua anggota TNI dan memulai kisahnya. Dia memohon maaf karena kisahnya bisa menyindir institusi si loreng itu.
            Dia bercerita bahwa dia pernah memergoki istrinya di bawa ke sebuah losmen oleh anggota TNI (armed) di daerah Batu. Awal perkara ketika sang istri yang ditinggal olehnya ke luar kota untuk mengais rezeki itu. Sang istri mengaku hanya diajak untuk menghadiri acara pernikahan salah satu teman anggota TNI tersebut. Namun naas saat pulang dari lokasi resepsi hasrat dan nafsu TNI bengal itu muncul untuk mengajak wanita itu ke losmen.
            Memang Allah itu Maha Berkehendak. Entah ada angin apa kejadian itu berlangsung ketika pria itu hendak pulang kampung. Sang anak yang merasa ada yang ganjil dengan keadaan ini menelpon bapaknya yang kebetulan perjalanan pulang itu. Sang anak melapor kalau ibunya dari siang belum pulang dari acara pernikahan tersebut. Sungguh bukan kebetulan lagi, sang pria yang dengan mata kepalanya sendiri melihat istrinya dibonceng dengan pria lain berseragam loreng yang mengendari motor ninja RR itu. Awalnya dia masih menduga bahwa dia salah melihat. Ketika truck yang dia kendarai sudah mendekati mereka dia sangat tersentak dengan kejadian itu. Dia memutuskan untuk mengikuti terus dan berhenti di pos ojek untuk mengejar mereka.
            Sampailah mereka ke sebuah losmen. Sang suami yang tak gegabah menunggu hingga beberapa menit. Memang itu yang diajarkan bapaknya yang seorang pahlawan seroja. Lima belas menit berlalu, dia memberanikan diri untuk mendobrak pintu kamar losmen tersebut. Memang sesuai apa yang dikira, dia mendapati keduanya sedang khusyu’ dalam hubungan intim yang dilaknat Allah ini. Si pria itu malah memarahi sang suami. Karena merasa dalam posisi benar dia memberanikan diri untuk melawannya. Sang istri yang tak ingin ada keributan yang menyebabkan keduanya malu akhirnya memisahkan keduanya dan langsung mengaku kalau pria yang mendobrak itu adalah suaminya bukan petugas losmen yang iseng ngintipin orang begaul.
            Sang suami yang sakit hatinya melihat kejadian ini, langsung mengabari keluarganya dan keluarga sang istri. Di malam itu pun semua berkumpul untuk merundingkan masalah ini. Namun apa daya, kisah percintaan kedua insan yang dianugerahi dua anak ini harus berakhir dengan status perceraian malam itu juga lewat talak yang diucapkan oleh sang suami. Perundingan itupun dihadiri si hidung belang, dia memberanikan diri untuk menyeletuk kepada kucing garong itu. Dia mengatakan kalau sebenarnya dia tidak takut dengannya, dia hanya takut dengan seragam yang dia pakai. Sang istri yang tak ingin semua panas meredakannya dan memerintahkan untuk tidak melaporkan kejadian ini kelembaga si kucing garong itu agar tidak di phk.
            Aku yang mendengar cerita itu tersentuh dan terenyuh untuk meneteskan air mata ini. Dan tak tahan pula tangan ini untuk menjabat tangannya untuk mendoakan agar diberikan sabar dan ketabahan ini. Ya itulah kehidupan, bila ada kesempatan langsung saja diembat tanpa mikir akibat. Ya memang kadang orang berfikir demikian “kucing endi seng gak gelem lak diwehi pindang” atau “kucing mana yang gak mau, kalau dikasih ikan pindang”.

0 komentar :

Posting Komentar