SEMANGAT ITU MASIH ADA SAMPAI UJUNG SENJA

Tetaplah berjuang sampai ujung senja. Jadikanlah batas kesabaran itu hingga Allah ridho pada diri. Semangatlah apa pun yang terjadi karena hakikatnya meskipun diri tak mau semangat, sesuatu apa pun itu akan tetap terjadi jua.

Sebaik-baiknya teman adalah yang menunjukkan kepada kebaikan.

Teman merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan ini. Tanpa kehadiran teman kita bukanlah apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Dalam cakupan yang luas, teman juga bisa diartikan sebagai orang yang menemani kebersamaan dan membantu kita, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Mendapatkan Ketenangan Hati Dalam Menghadapi Masalah Hidup

Setiap manusia tidak ada yang tidak mempunyai masalah hidup, terlepas dari segala aspek status maupun derajatnya. Terkadang masalah tersebut bisa membuat kita menjadi stres atau bahkan akhirnya menjadi sakit, namun jika kita pandai untuk mengelolanya dengan baik masalah tersebut justru bisa menjadi sesuatu pelajaran yang sangat berguna untuk kita.

Rasa gembira merupakan kesan positif kejiwaan yang muncul di berbagai keadaan.

Menghapus rasa duka dan menciptakan keceriaan merupkan hal yang cukup baik untuk diri sendiri maupun bagi keluarga dan masyarakat. Karena rasa duka dan ceria tidak hanya terbatas pada pribadi manusia. Keceriaan dan kesedihan seorang manusia boleh berpengaruh juga terhadap orang lain. Oleh kerana itu, kesedihan ataupun keceriaan seseroang berpengaruh juga bagi orang lain di sekitarnya.

Atasi rasa lelah

Jangan kalah sama rasa lelah. Ketika kita terjangkiti rasa lelah, hanya ada dua pilihan, berhenti atau meneruskan. Tapi ketahuilah, bahwa berhenti karena lelah itu adalah simbol dari kekalahan, menyerah dan putus asa, yang merupakan bagian dari kekufuran.

Kamis, 22 Mei 2014

Aku Masih Seperti Biasa



Entah bagaimana caranya harus kuterjemahkan permasalahan ini. Detik kian mengumpul menjadi menit, menit menyatu menjadi jam, dan jam pun berputar membentuk hari. Aku tetap berdiri sendiri di sini dengan masalah yang sama. Apakah ini yang dikatakan penyair bahwa aku telah melakukan “kesalahan yang sama” atau hanya terpaku untuk “menanti sebuah jawaban”. Semua menyerangku dengan cara yang tak seperti biasa, tapi aku masih bisa seperti biasa.
Aku sendiri hanya seorang lelaki yang tidak banyak memiliki romansa perjalanan cinta. Bahkan bisa dikatakan aku ini adalah sosok yang asing asmara. Rasanya terlalu sulit hati ini untuk menjalankan pilihan pada seorang perempuan. Tapi, bukan tidak pernah untuk menjalin kasih sayang. Dan aku masih seperti biasa dengan semua itu. Memang seraut wajahku juga lumayan tampan. Cukup untuk menggoda dewi asmara memihak diriku. Tapi aku tak mau mengungkapkan hatiku padamu wahai tulang rusukku yang hilang.
Apa-apaan ini, akun semakin ngentur saja. Tiada hentinya aku membicarakan sosok wanita dalam setiap kisahku. Aku tak akan banyak berkutik untuk kali ini saja. Aku cukup sakit dibuatnya. Aku hanya akan  mencoba berbagi pengalaman tentang. Fenomena yang hangat diperbincangkan saat ini oleh mereka penjaja dan pemburu info di balik terpal warung kopi.
Kepulanganku kali ini diambang batas antara kenyamanan dan tidak. Aku nyaman karena bisa kembali berkeluh kesah di balik dekapan bunda yang tak letih mendengar curahan hatiku sang pegiat semangat yang tak jarang mendapat banyak laknat. Meskipun begitu, aku masih seperti biasa.
Aku nyaman di rumahku ini walau sering cecurut menemani tidurku dengan jeritan kelaparannya. Aku nyaman berada di sini meski para pengisap darah tak ayal menyergapku hingga sampai ke bokong. Dasar jingklong tak tahu malu, aurat pun kau terjang dengan nasfumu. Iya tak apa-apa, aku masih seperti biasa.
Aku tak mau membicarakan ketidaknyamananku. Aku tak mau membuat orang lain terharu karena itu juga membuatku malu. aku tak mau ada yang tersinggung oleh ucapanku. Aku tak akan banyak berbual. Aku juga tak akan menjadi frontal terlebih sampai berbuat binal. Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Engkau tahu apa yang hamba-MU ini mau. hamba hanya bisa berucap dan tak banyak untuk berbuat dengan langkah tegap. Engkau memang sosok yang luar biasa, tapi aku masih seperti biasa.
Cukup seperti itulah aku bermelankolis dengan rasa yang tidak tentu ini. Aku mulai kisah yang ingin kubagi ini dengan seteguk kopi pengantar aktivitas pagi. Kisah ini berawal dari warung rakyat. Sarapan di warung yang jarang kulakukan di sana. Kulahap berita yang dibumbui dengan pedasnya perbincangan dari beberapa rasa dengan khas yang berbeda.
Bawang merah yang menggebu-gebu membuat pedih mata ini seperti kala aku mengupasnya. Bawang putih membuat aku mual tatkala aku mengunyahnya mentah-mentah. Kusisihkan cabai yang memang tak kusukai dan kuganti dengan saos yang dibuat dengan cara instant. Itulah penafsiranku tentang sarapan yang tak biasa kulakukan di sana. Iya, memang tak biasa, tapi aku masih seperti biasa.
Memang ini yang dibilang pesta rakyat. Uang saku dikantongi wong cilik dari calon pejabat. Apakah ini yang disebut nikmat? Atau hanya ajang untuk merendahkan martabat? Aku tak bisa banyak untuk berbuat, aku juga tak pandai untuk mendebat. Aku hanya mencoba membenarkan dengan sebuah pendapat. Aku coba muntahkan semua bumbu yang tak cocok untuk aku embat.
Aku memberanikan diri untuk bicara kepada pemburu nikmat sesaat yang tak mau aku kutuk dengan julukan sesat. Lantas aku bilang kepada mereka “Kenapa kalian tidak mencoba untuk menggugat? Kenapa kalian tidak meminta pesta rakyat ini setiap ahad?”. Semua terperangai hingga sampai mengernyitkan jidat. Mereka mulai menampakkan mimik yang tidak biasa, tapi aku masih seperti biasa.
Kutinggalkan mereka dengan wajah biasa dan tak akan lupa kubayar semua yang kusantap tadi. Aku pergi mencari hal baru lagi yang jarang kutemui. Tak lama setelah itu, kutemui banyak kurir suara berlabuh dari atap ke atap. Sang kurir bergaya dengan membawa tas berlengan satu yang tak jauh beda dari penarik hutang milik bank perkreditan rakyat. Aku mulai menerka bahwa isi dari tas itu adalah bom dan peluru untuk para algojo yang berperang esok hari. Esok hari adalah hari yang tak biasa, tapi aku akan tetap seperti biasa.
Sang algojo pun tak nampak bodoh, semua amunisi mereka terima meski dari klan yang berbeda-beda. Algojo itu sama halnya dengan pengemis yang meletakkan segelas air mineral kosong dan memakai kerudung untuk melindunginya dari panas. Iya, mereka semua saja, entah di sini ataupun di sana. Mereka pandai berganti wajah yang tak biasa, sedangkan aku masih seperti biasa.
Hari semakin siang, waktu eksekusi pun semakin dekat. Amunisi sudah di tangan mereka, tinggal menunggu bidik sasaran untuk dipasang dalam sebilik ruang tarung. Aku tak ingin kelewatan untuk memerhatikan pagelaran lima tahunan ini. Aku hanya pemerhati saja, aku bukan petarung yang bisa berbuat curang dengan menaruh ranjau untuk menjegal lawan. Memang itu cara yang tak biasa aku perhatikan, tapi aku masih seperti biasa.
Kulihat arena telah dirapikan oleh pekerja dadakan dengan bayaran seadanya. Walau cukup rokok, kopi dan nasi bungkus yang mereka dapat. Terop pelindung dipasang agar tidak mencederai ekseskusi esok hari. Semua pekerja melakukan intruksi dengan cara yang tak biasa dan aku masih seperti biasa.
Akhirnya hari yang dinanti telah datang. Lampu sorot arena telah menyala dengan terang. Para algojo mengantre giliran untuk menggunakan haknya. Aku tak habis fikir, peluru mana yang akan terlebih dahulu mereka pakai dari sekian banyak amunisi yang mereka terima itu. Aku juga semakin bingung, kenapa aku tak mendapat sentilan sedikitpun dari mereka. Apa aku belum lihai untuk mengeksekusi dengan tepat? Atau aku terlihat terlalu biasa sehingga membuat mereka menaruh curiga padaku. Ah, itu hanya perasaanku saja. Tapi mengapa mereka nampak tak biasa, padahal aku masih seperti biasa.
Pagelaran ini telah berakhir, semua algojo mungkin telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Penonton mulai berkurang tatkala sesi pengumuman. Apa mereka sudah tak peduli dengan hasil yang ada? Bukankah itu hasil dari yang mereka kerjakan? Atau mereka hanya menggugurkan kewajiban untuk memainkan peran sebagai algojo sehingga tak tahu esensi atas apa yang mereka perbuat? Masihkah ini disebut sebagai pesta rakyat kalau rakyat dibuat tak mengerti apa-apa? Mereka dibuat bingung untuk mengeksekusi dengan banyaknya amunisi yang ada. Ya, memang beginilah kondisi demokrasi negeri yang kekayaan alamnya teramat banyak sangat. Banyak dari mereka tak berupaya mengamati apa yang diamanatkan. Demi sebuah kursi, mereka rela tikung sana-sini. Ya beginilah kondisi yang tak biasa dari hari yang wajar. Aku pun akan tetap seperti biasa.
Hanya sampai di situ kisahku kali ini. aku yang selalu seperti biasa bukan berarti aku tak peka. Aku hanya tak mau memasang wajah berbeda seperti halnya mereka sang pemburu nikmat dunia. Aku bukan pengemis harta dunia. Aku hanya fakir pahala yang tak luput dari dosa. Aku hanya pegiat yang memperjuangkan harkat dan martabat. Aku hanya segelintir orang yang sering dihujat. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Aku bahagia karena aku masih seperti biasa.

Ku tulis pada tanggal 9 April 2014

Sabtu, 03 Mei 2014

Hari Ketiga Kepergianku

[(tetap) Bukan Tulisan Ilmiah]

Hari ini ku awali dengan sholat subuh berjamaah yang menjadi kewajiban tatkala di sana dan akan mendapatkan sebuah iqob bila tak dilaksanakan. Terasa bingung saat ruangan dipakai untuk sholat semalam terkunci. Rasa suudzon itu muncul karena anggapan tidak adanya toleransi dari panitia yang sebagian besar adalah non muslim. Tak ambil pusing akhirnya kami mengambil sarung dan selimut untuk dijadikan sajadah daripada harus mencari panitia yang akan mengulur waktu saja.
Air yang dingin membuatku enggan untuk membasahi tubuh mungil ini. Hidangan pagi belum juga siap, membuatku semakin bingun untuk berbuat apa. Ku ambil pena dan notebook yang tersedia untuk merangkai cerita perjalananku di kota Bandung ini. Ku lakukan terus hingga ada panggilan untuk sarapan dari panitia.
Di ruang makan aku melihat sesuatu yang ganjil. Ku melihat tumpukan gelas plastik yang digunakan untuk wadah kopi pagi. Sungguh ironi sekali dengan tagline acaranya “Save the environment, it will save you later” yang dibawakan hanyalah sebuah kata-kata yang belum disadari walau banyak yang sudah mengetahui. Rasa sebal muncul saat melihat gelas plastik kutemukan terbuang di parit sebelah ruang makan. Ke mana jiwa pejuang lingkungan wahai aktivis bumi hijau?
Seusaai makan, acara kembali dilanjutkan dengan keberangkatan menuju Kota Baru Parahyangan. Perjalanan ke sana hampir menghabiskan waktu satu jam. Sesampai di sana, aku dan yang lain disambut oleh birokrat di sana laksana tamu istimewa dan diperkenalkan dengan profil, visi dan misi KBP. Setelah itu, aku dan yang lain dijelaskan dengan kegiatan yang akan berlangsung hari ini.
Haari terrasa melelahkan karena aku dan yang lain menjalani kegiatan yang terjun langsung ke alam. Aku dan yang lain memetik bibit tanaman, lalu menanamnya. Hal itu terasa asyik berkat keberasamaan dari semua peserta yang baru saling mengenal.
Setelah berkutat dengan tanah, aku dan yang lain menikmati hidangan proses pembuatan kompos organik dan dilanjutkan dengan praktik langsung pembuatan kompos rumah tangga dengan skala kecil. Walau bau kompos yang menyengat namun semua tetap semangat untuk mendapatkan ilmu yang lebih luas lagi.
Puas dengan itu, aku dan yang lain menuju Green Mosque. Masjid yang indah nan rupawan berkat desainnya, baik desain interior maupun eksteriornya. Dinding masjid yang berlubang merangkai kalimat tauhid membuatku semakin merasa memiliki dan bersyukur kepada Yang Maha Bersyukur.
Setelah berkunjung dan menjalankan ibadah sholat di masjid, aku dan yang lain beranjak kembali ke Bale Pare tempat kami disambut tadi. Aku dan yang lain menikmati makan siang dan dilanjutkan dengan ke Green House untuk melakukan pelatihan biopori dan melihat rumah contoh “Green Lifing”.
Hari ini ditutup dengan Art Performance dan Cultural Night di wisma penginapan yang sebelumnya kami tersihir dengan penampilan aksi dahsyat dari Saung Angklung Udjo

Jumat, 02 Mei 2014

Hari Kedua Kepergianku

[(masih) bukan tulisan ilmiah]

Hari kedua kuberada di sini. Di sini yang tak kumengerti apa yang harus kujalani. Pagi beranjak siang namun aku masih terbaring dalam kasur empuk nan nyaman ini. Perut mulai memberontakku agar segera mengisinya. Kubergegas pergi ke kantin yang tak jauh dari tempatku berlelah tadi.

Saatku berangkat mencari makan, yang terlihat hanya barisan kereta beroda empat yang berbaris tak berujung sepertinya. Mereka saling membunyikan klakson sebagai bentuk kekesalan. Entah kesal terhadap apa dan kepada siapa, aku tak mengerti. Aku hanya bisa menerka tak pandai bersuara. Aku hanya bisa prihatin dengan semua yang ada.
Tibalah diriku di sebuah kantin yang berkonsepkan prasmanan ini. Terhidang banyak makanan yang membuat mulut ini tak tahan untuk mengunyahnya. Kupilih makanan standar yang sesuai dengan uang yang ada. Kusantap dengan lahap laksana buaya memakan mangsanya. Kuakhiri sarapan kali ini dengan tegukan segelas air putih yang memang gratis.
Kulanjutkan perjalanan menuju stasiun untuk membeli tiket kepulanganku. Tanpa mandi terlebih dahulu, aku berangkat saja karena hari semakin siang saja. Aku nampak bodoh dengaan keadaan yang tak pernah kutemui sebelumnya. Bertanya ke sana- kemari akhirnya kutemui angkot apa yang harus kutumpangi.
Setiba di stasiun, yang terlihat hanya puluhan bahkan ratusan orang berjubel. Mereka mengantri hanya demi secarik kertas yang biasa disebut tiket. Banyak kedholiman yang terjadi ketika orang yang baru datang menyerobot giliran dengan nebeng ke giliran orang lain. Ya Allah, begini kah umat yang diharapkan oleh Rasul Yang Mulia.
Tiga jam mengantri, akhirnya kini tiba giliran hamba. Aku bergegas menuju loket untuk menyelesaikan transaksi ini karena adzan telah berkumandang. Aku iya kan saja apa semua yang terucap dari petugas loket yang manis nan rupawan ini. Kini tiket sudah di tangan, ku bersegera mencari masjid untuk menjalankan ibadah sholat jum’at.
Aku mencari masjid terdekat. Kucari sumber bunyi lantunan ayat-ayat suci yang paling keras. Kuambil air wudlu saatku telah sampai di masjid. Ku dengarkan khotbah yang sedang berlangsung. Memang jasad ini berada di masjid ini, tapi pikiran kemana-mana. Entah memikirkan apa dan siapa, akupun juga tak tahu. Aku hanyalah hamba yang tak luput dari gundah gulana.
Sholat jum’at berakhir sudah, namun segenap pikiran masih belum bisa berpaling dari diri ini. Aku tak tahu harus gimana lagi. aku kembali saja ke tempat persinggahanku. Aku teringat kalau tujuanku ke kota yang terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik ini untuk mengikuti sebuah acara. Dan acaranya akan dimulai sekitar 40 menit lagi, sedangkan aku belum tahu di mana lokasinya. Aku hanya tetap bersikap santai namun tetap memendam segumpal pikiran yang membebani ini.
Aku sudah di angkot perjalanan ke tempat persinggahankuini. Aku lupa di mana tadi aku berangkat. Aku hanya ingat nama jalanbesarnya, namun tidak ingat alamat detailnya. Sebab ini, aku jadi kesasar dan semakin mengulur waktuku untuk menuju lokasi acaraku kali ini. Memang selalu diiringi dengan kisah sedikit tragis perjalananku ini.
Kuhubungi teman sejawat yang ada di tempat persinggahanku kali ini. Dia menyediakan dirinya untuk menganterkanku kee tempat lokasi. Namun karena mendengar kabar aku yang masih tersesat dan dia sendiri juga mau ada urusan, akhirnya dia meminta maaf untuk batal mengantarkanku. Tapi Allah memang Maha Penolong, tak sengaja kita malah dipertemukan di jalan. Dengan segera dia memboncengku menuju tempat persinggahan untuk mengambil bawaanku yang akan dibawa ke lokasi acara.
Badan ini semakin gatal-gatal saja karena dari tadi pagi bahkan kemarin sore aku belum menyentuh air sama sekali. Kutahan hingga acara ini berakhhir. Rasa haus sudah menggelagar, ku minum sebotol air dengan leganya. Kusabar menunggu acara ini berakhir. Sambil sembari menunggu, kupandangi satu per satu wajah para peserta.
Peserta yang beragam dari 45 universitas di Indonesia ini, membuat pelangi di ruangan lantai delapan ini. Acara pun dimulai dengan pembicara Vania Santoso (Aktivis Lingkungan Hidup), Gamal Albinsaid (CEO Indonesia Medika) yang akan menjadi pembicara di ETOS EXPO MALANG 2014 di sesi satu. Di sesi berikutnya ada kang Christian (CO Founder Greenaration Indonesia), Pak Erik (BPLH Bandung) dan Pak Satori (Dosen Universitas Islam Bandung). Acara berakhir dengan quiz lalu akhirnya aku bisa menemukan kamar mandi setelah berada wisma penginapan.

Di penginapan pun acara terus berlanjut dengan sharing dari berbagi komunitas seperti KOPHI JABAR, Bangung Clean Action dan GC UI. Dan setelah semua rangakaian berakhir aku langsung membaringkan tubuhku d lantai 2 ranjang yang empuk ini.