Tepat pukul Sembilan pagi seperti yang terlihat di layar
ponselku, pagelaran “pesta” pemblokiran jalan oleh warga betek dimulai. Warga berbondong-bondong
berkumpul di sebuah posko yang dinamakan dengan posko dua arah. Dengan panduan
para RT dan RW yang ada di panggung posko warga melanjutkan long march menuju
depan makam islam penanggungan.
Merasa terkhianati oleh si wali kota, warga melakukan
aksi teaterikal dengan menggambarkan seorang warga yang meninggal akibat kecelakaan
pasca diberlakukannya satu arah. Memang setelah diusut dan berdasarkan fakta
yang ada telah memakan korban jiwa sebanyak 8 orang serta korban luka sebanyak
15 orang yang divonis cacat seumur hidup (menurut salah seorang warga).
Aksi ini dipelopori oleh tragedi terakhir yang memakan
korban yang minggu lalu tertabrak oleh pengendara sepeda motor yang hingga kini
masih dirawat inap di salah satu rumah sakit di malang. Warga dahulunya
menerima satu arah yang hanya setengah hari atau 12 jam, namun kini warga mulai
kesal atas kebijakan yang terkesan menindas hak rakyat atas pemberlakuan satu
arah selama 24 jam penuh.
Dengan diberlakukan aturan semacam itu kini jalan
panjaitan laksana sirkuit drag race
ataupun road race yang membuat warga
lama untuk menyeberang jalan dan bahkan anak-anak memboloskan diri untuk pergi
sekolah dengan alas an takut ditabrak pengendara motor yang ugal-ugalan. Sungguh
miris apa yang terjadi di kota Malang ini. Ketika hegemoni akan kejayaan akan
singosari bahkan bangkitnya Arema harus dibayar dengan kebijakan seorang
pemimpin yang justru menindas sosial ekonomi rakyatnya.
Sekitar pukul 10.30 para demonstran mendekati jembata
soekarno-hatta (red : suhat). Para demonstran bergantian berorasi mengutarakan
uneg-uneg kekesalan terhadap kebijakan yang dibuat oleh si abah (red:
walikota). Mulai dari warga biasa, tokoh kampung, mahasiswa hingga seorang
ustadz ikut berorasi dan memimpin tahlil guna berharap kembalinya dua arah yang
bisa dibilang lebih aman dan sejahtera ketimbang satu arah yang membuat warga
sengsara.
Tepat jam 1 mahasiswa dan warga mulai menutup akses dari
jalan sukarno hatta menuju jalan panjaitan. Hal itu membuat dishub dan polantas
kalang kabut sehingga menerapkan sistem buka tutup pada pintu masuk universitas
brawijaya. Tak selang berapa lama datanglah Hadi Santoso yang merupakan asisten
II dari walikota. Beliau mengatakan kalau bapak walikota tidak bisa datang ke
areal aksi unjuk rasa. Dan beliau hendak mengundang perwakilan warga untuk
berdiskusi di balai kota saja. Salah seorang
warga balik menyerang bahwa akan menonaktifkan kegiatan pemerintahan mulai dari
tingkat RT, RW bahkan sampai Kelurahan dengan jalan yang sudah ditempuh yakni
pengumpulan stempel dari setiap RT dan RW.
Ya beginilah yang dapat saya kabar dan ceritakan. Bila ingin
info lebih detail dan up to date silahkan langsung datang ke lokasi dan bertemu
narasumber yang telah disediakan.
Untuk foto bisa di lihat di sini
0 komentar :
Posting Komentar