Episode 2 dari Trilogi cerpen ku yang berjudul
"3 Arah 2 Jalan 1 Tujuan"
Tak tahu dari
mana lagi ku harus memulai cerita yang dulunya berisi suka. Kisah yang
sebenarnya ingin ku tulis lagi, namun kini pena yang dulu kupakai mulai luntur tintanya.
Kisah tentang perjalanan tiga orang sahabat yang memiliki ciri khas yang berbeda.
Kisah yang belum menemukan akhir ceritanya hingga kami telah benar-benar tiada
dari dunia. Rasa rindu yang menderu membuatku semangat untuk menulis cerita
yang biasa ku tulis saat penghujung senja.
Kisah ini akan
terasa berbeda dari kisah yang lalu. Di mana kisah yang lalu diambil tatkala
kami masih pada fase putih abu-abu. Kini kami telah mulai tumbuh dewasa dan
mulai bisa membedakan mana hal yang pasti dan mana hal yang rancu. Tumbuh
karena zaman yang membuat kami harus saling beradu. Beradu dengan keadaan yang
membuat kami memang harus benar-benar singkirkan rasa malu. Buat apa malu,
jikalau yang dikerjakan tidak melanggar aturan-aturan yang berlaku. Malu itu
jikalau sudah memulai tertarik dengan lawan jenis, namun modalnya masih minta
pada ayah ibu.
Langsung saja
kumulai kisah ini dari salah satu sahabatku. Ya, masih ingatkan kalian dengan
sosok Ilud yang sangat lugu. Sosok yang bisa dibilang cuek dengan lingkungan
sekitar namun pemikirannya yang kritis membuat geleng-geleng banyak bapak-ibu
guru dulu. Tapi entah kenapa, dia sekarang menurunkan ritme pola pikirnya itu.
Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi pada sahabatku itu. Yang kukenal dia
adalah sosok yang tak mudah menyerah walaupun beribu-ribu masalah menyerbu.
Oh ya, aku ingat
akan sesuatu tentang dirinya. Dia kini tengah dalam masa-masa sulit, karena dia
berada di fase akhir perkuliahannya. Di tahun ketujuh perkuliahannya, dia masih
belum bisa menyelesaikannya tugas akhirnya. Entah apa yang terjadi pada
dirinya. Tak pernah kudapati kendornya semangat dirinya di kala SMA. Padahal di
kala itu saat ibunya meninggal pun, dia tak pernah sedikitpun menciutkan
asanya. Aku pun juga tidak tahu apa dia sedang bergejolak dalam hal asmara.
Sehingga pikirannya terbagi, antara fokus menyelesaikan tugas akhir atau ada
sosok wanita yang membelokkan tujuannya.
Ilud yang
kukenal sangat canggung tatkala berdekatan dengan lawan jenis, meskipun yang
didekatnya bak bidadari. Tapi dia memang memiliki prinsip tak ingin
bermain-main dalam asmara, dia tidak berharap ada hati yang tersakiti. Lebih
baik fokus pada tujuan awal, yakni membuat orang tua bangga tatkala kita
sebagai seorang anak mampu memenuhi amanah yang telah diberikan oleh orang tua
jauh-jauh hari. Ya begitulah katanya, setiap ditanya kenapa enggan berdekatan
dengan wanita, padahal dia sempat menambatkan hatinya pada salah satu mahasiswi.
Pernah suatu
kali kucoba untuk menghubungi dirinya. Ku mulai dengan basa-basi menanyakan
bagaimana keadaan dirinya dan perkuliahannya. Perlahan tapi pasti dia bercerita
tentang semua yang terjadi pada dirinya. Sampai pada satu titik dia mulai
serius dalam bercerita. Di titik itu dia tengah bercerita tentang keadaan
ekonomi keluarganya. Dia cerita kalau ayahnya terlilit banyak hutang yang
membuat rumahnya disita.
Di tengah
tragedi itu dia harus membagi konsentrasi pikirannya, antara studi dan masalah ekonomi.
Aku tahu dia adalah sosok yang tangguh untuk menghadapi hal semacam ini. Walhasil
dia memutuskan untuk cuti dari studinya, dan memilih bekerja untuk sementara pada
suatu kedai di dekat tempat dia kuliah yang kebetulan sama dengan kampusnya Pak
Presiden saat ini. Dia tak merasa malu dengan apa yang dia jalani kini. Karena
itu semua untuk memenuhi biaya studinya yang tinggal sebentar lagi. Dia tak
ingin merepotkan ayahnya lagi dan merelakan uang sakunya kini digunakan untuk
melunasi hutang serta sebagai tambahan persiapan adiknya yang akan masuk ke
Perguruan Tinggi.
Di masa-masa
sulitnya dia mulai jarang ke kampus untuk berkonsultasi akan tugas akhir kepada
dosen pembimbingnya. Dan dia pun lupa akan tanggungan mata kuliah yang harus
diulangnya. Suatu hari dia mendapat telepon pihak akademik untuk kembali ke
kampus guna melanjutkan studinya. Dia mulai bimbang, karena uang yang
diperolehnya dari bekerja di kedai itu belum cukup untuk membayar iuran
pendidikannya. Dia memberanikan diri meminjam uang kepada juragannya, yang tidak
disangka ternyata beliau berasal dari daerah yang sama. Karena merasa sesama
seperantauan bahkan satu daerah, sang juragan, sebut saja Pak Sugeng
memberikannya dia pinjaman bahkan dilebihi sebagai tambahan uang sakunya.
Dia akhirnya
berpamitan ke Pak Sugeng dan tak lupa berterima kasih atas kebaikan beliau. Pak
sugeng pun berpesan agar dia segera menyelesaikan kuliahnya supaya benar-benar
mendapat kerja yang sesuai dengan studinya itu. Kini dia mulai menumbuhkan
spiritnya untuk menyelesaikan apa yang ditempuhnya di kampus itu. Perlahan
dengan pasti dia kembali menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa yang
kesana-kemari membawa buku. Tak lupa note
kecil selalu tersimpan di saku baju. Hal itu yang selalu mengingatkanku
padanya, begitulah ciri khas dirinya yang tak ingin melewatkan satu
pelajaranpun tidak tercatat di note itu.
Sejak di SMA dia sudah melakukan hal itu. Ya, dia memang sosok yang begitu
special bagiku. Si lugu dan cerdik yang kadang membuatku terkagum akan
gagasannya yang dia terangkan padaku.
Karena dia
kembali kepada masa-masa serius dan memanglah harus tetap fokus. Aku mulai
jarang bertegur sapa via telepon ataupun chat
yang dulu kita lakukan terus-menerus. Aku sedikit merenggangkan intensitas
berhubungan dengannya agar dia tetap berada di jalan yang lurus. Berada pada
tujuannya untuk menjadi seperti Prof.Ir. Soedarwono Hardjosoediro yang jenius.
Sebelumnya ku ingatkan kepadanya agar sholat lima waktu jangan sampai putus.
Agar tetap menjadi cendikiawan yang religius. Dan itulah sedikit kisahku tentang dia yang
tengah berjuang melawan arus.
Nah, sekarang
aku akan menceritakan kisah dari sahabatku yang lain. Iya siapa lagi kalau bukan
Mitra, sang ketua rohis yang dari dulu selalu berkepribadian bukan main. Meski
bergaya minimalis, dia sering menjadi trend
setter yang sukar ditebak, membuat dia dulu sering dijuluki menjadi the blind
mind. Langsung saja kita masuk ke dalam perjuangannya di kota Ahmad Dhani dilahirin. Yaps, tepatnya dia
memilih mengambil di Universitas Airlangga dan tentu tidak mengambil jurusan
Sains. Jelas sudah alasannya, karena dia saat SMA memilih jurusan IPS dan tentunya berbeda di antara kami yang lain.
Di kampus yang
memiliki motto Excellence with Morality
dia memilih jurusan sosiologi, sesuai dengan keinginannya saat di bangku
sekolah. Dan di kota pahlawan itu, dia sering pergi ke Jembatan Merah. Katanya,
di situ dia seolah kembali tersedot pada masa perjuangan rakyat Surabaya
melawan penjajah. Dia memang tipikal orang yang senang melancong, terlebih ke
tempat bersejarah. Selain menambah wawasannya, ternyata juga sebagai sarana
untuk menghilangkan keluh kesah. Dari sanalah dia mulai berubah, dia yang dulu
canggung di hadapan wanita, kini malah dia yang awal menjajakan wajah.
Aku tahu betul
kenapa itu bisa terjadi. Di kala SMA dulu, dia pernah kandas cintanya oleh
salah satu siswa yang dia cintai. Sebenarnya sangat tidak layak bila harus ku
bagi di sini. Tapi memang sewajarnya tidak perlu dibagi, karena itu juga aib
sahabatku sendiri. Tapi tak apalah, harus ku tuang kisah itu di sini. Sebut
saja dia Anisa, siswi yang dulu bersemayam di hati sang ketua SKI ini.
Berpenampilan islami, dengan hijab yang panjang yang ia pakai setiap hari. Tapi
di balik penampilan bernuansa religinya itu, ada satu hal yang membuat merasa
aneh pada dirinya yang jauh dari pandangan kami. Iya, dia adalah penggemar K-Pop yang bisa dibilang maniak, yang
kesana-kemari selalu memberikan kabar terbaru dari artis K-Pop yang dia sukai.
Terkesan aneh
bagiku karena dia adalah cewek berparas Arab. Yang kutahu orang Arab itu sangat ketat dalam menjaga adab. Baik cara
pergaulan dengan lawan jenis maupun tata cara berucap. Orang Arab pasti kesal
kalau dia nanya tapi tidak dijawab. Kembali pada sosok Anisa, siswi di SMA kami
yang kesehariannya sering memakai logat Amiyah
atau bahasa pasarannya orang Arab. Satu hal yang unik lainnya dari Anisa
adalah hampir setiap hari selalu membawa bekal kalau tidak Roti Maryam ya Kebab.
Sungguh budaya Arab melekat pada dirinya, sampai teman-teman menjuluki “Si Gadis Kebab”.
Namun sayang
hubungan keduanya tidak direstui oleh abahnya Anisa. Abahnya ternyata memang
melarangnya berpacaran dan dia menyembunyikan hal ini semua. Kisah cintanya
terbongkar setelah si abah memergoki isi pesan yang ada di HP Anisa, aku ingat
kala itu dia masih memakai HP merk Mokia. Si Abah yang bertampang garang
membuat banyak dari kami cowok satu sekolah menjadi takut mendekati Anisa.
Pernah suatu ketika aku diajak Mitra ke rumah Anisa untuk meminjam kamera.
Saking takutnya ketemu abanya Anisa, kami harus rela menunggu berjam-jam agar
bisa berjumpa dengan Anisa. Karena kami akan leluasa bila di rumah tersebut si
abah tidak ada.
Lanjut lagi pada
kisah Mitra sahabatku, sosok yang menemaniku berangkat ke ranah perantauan
untuk mengikuti tes beasiswa. Beasiswa bagi siswa kurang mampu yang ingin
kuliah, sebut saja nama lembaganya Kantong Dhuafa. Beasiswa yang sebenarnya
bagus secara sistem, namun sayang di dalamnya seakan-akan digiring untuk
berpola pikir pada salah satu partai yang kala itu digandrungi mahasiswa. Loh,
kenapa aku malah bicara tentang kisahku yang seharusnya tak perlu diketahui
khalayak manusia. Kembali pada sosok yang Mitra selalu berpesan kepadaku agar
tetap kuliah meskipun bagaimana pun kondisinya. Memang terbukti di kala aku
minder karena masalah biaya, akhirnya aku berhasil mendapatkan beasiswa.
Mungkin ini juga berkat doanya yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Mitra, di SMA
dulu dia sering dipanggil petruk. Aku tidak tahu kenapa julukan itu tersemat
kepada temanku yang tatkala kuliah mulai menyukai makanan khas Madura, yaitu
Nasi Buk. Setahuku petruk dalam pewayangan adalah sosok jenaka yang sering
memberi petuah agar manusia selalu tunduk. Tunduk kepada Tuhan yang telah
menilai apa yang kita kerjakan di dunia ini termasuk hal yang baik atau hal
yang buruk. Dengan prinsip yang dia pegang itu, dia selalu menjadi panutan
teman-teman yang lain, baik yang kurus ataupun yang gemuk. Dia juga tidak pelit
untuk berbagi ilmu, sering kali ilmu-ilmunya dia bagikan di grup facebook. Ya begitulah si petruk, di
balik cengengesannya tersimpan sifat tawadhu’.
Mitra yang
kukenal memang senang bercanda. Namun dibalik candanya itu, selalu diselipi
nasehat-nasehat ringan, itu wujud kepeduliannya pada kami sahabatnya. Walau terkadang nasehatnya terkesan pedas,
tapi kami sahabatnya selalu menerima dengan lapang dada. Satu lagi ciri khas
yang tak bisa kulupakan dan mungkin oleh semua temannya, dia kalau lagi
kumpul-kumpul tak pernah sibuk dengan gadgetnya.
Ya namanya juga anak sosial yang pasti sangat peka dengan keadaannya di
sekitarnya. Berbeda dengan aku yang anti sosial, tidak suka dengan keramaian
orang serta sangat canggung dengan lingkungan yang pertama ku jumpa.
Semasih dia di
kota pahlawan, aku sering kali mengunjunginya di setiap libur semester. Dan
sekalinya kesana, dia sering mengajakku muter-muter. Salah satu tujuan
muter-muter kami tentunya ya wisata kuliner. Karena dia tahu betul kalau aku
ini suka Mie, maka dibawalah aku ke Mie Pecun, yang jarak dari kost-annya
beribu-ribu meter. Tak apalah sedikit menikmati panasnya kota ini, ya walaupun
sebenarnya daripada keluar rumah lebih enak mager.
Dan dia juga tahu kalau aku hobi membaca, maka diajaklah aku ke tempat “me time” paling nyaman dan tentunya
dengan udara yang seger. Namanya Libreria Eatery dengan salah satu menunya yang mengusik
perhatianku bernama Noach Platter.
Kembali ke pribadinya, dia adalah sosok yang
rajin. Untuk hal akademik, dia luar biasa bukan main. Berbeda dengan aku dan
ilud yang kadang memang lebih fokus pada hal yang lain. Sejak SMA dia sering
dijadikan utusan kelas untuk ikut olimpiade antar kelas ataupun antar sekolah,
ya bisa dibilang dia langganan rutin. Sikap disiplin dirinya ternyata
meneladani pemain bola idolanya Cristiano
Ronaldo, pemain yang penuh dengan skill
dan adrenaline. Banyak diberitakan
kalau Ronaldo tiap kali latihan, selalu datang paling awal dan pulang paling
akhir, kalau bahasaku sih nyebutnya fil
awwalin wal akhiriin. Begitu pula mitra, dia selalu datang paling pagi di
sekolah meskipun di hari itu dia tidak dapat giliran piket rutin. Dan di kala
pulang sekolah dia juga pulang akhir karena dia terbiasa mendiskusikan hal yang
dia rasa belum paham dengan para temannya yang kutu buku, kadang malah pulang
lebih awal kalau aku dan ilud ngajak dia main.
Semenjak
terakhir kali aku mengunjunginya, kami mulai jarang berkomunikasi kembali.
Bukan karena sebuah masalah, tetapi memang karena tuntutan amanah yang membuat
kami jarang bertegur sapa walau hanya sebulan sekali. Sampai pada suatu hari,
aku mendapat kabar bahwa Mitra telah meninggalkan dunia ini. Aku baru membuka
ponsel ku malam hari, karena aku tak punya paket data untuk mengakses internet
di ponsel buatan negeri orang sipit ini. Ternyata Mitra meninggal dunia pada
siang harinya, dan membuatku sedikit tidak percaya. Bagaimana tidak, sosok yang
kuanggap sebagai saudaraku sendiri meninggal karena sebuah K3LH.
Tanpa sengaja
dia tertimpa muatan barang-barang berat dari truk yang di depannya. Kenapa senaas
itu dia harus mengakhiri hidupnya. Dari hati yang terdalam sampai tidak terima
dengan kepergiannya. Pasti sangat dirindukan gelak tawanya, cara bicaranya dan
sikapnya yang bersahaja. Pemuda sederhana yang tak pernah pilih-pilih untuk
dijadikan temannya. Tak pernah pula memandang rendah orang yang secara ekonomi
ada di bawahnya. Pemikir simple yang
kami memang harus meneladinya. Semoga engkau tenang di surga sana, oh sahabatku
Mitra.
Mungkin cukup di
sini kisah ini harus kuukir. Berakhir untuk sementara sembari kami meniti
karir. Kami tidak akan pernah berhenti untuk mengubah takdir. Terlebih takdir
pahit yang harus kami terima akan kepergian kawan kami Mitra, sang pioneer. Kami
lawan dengan selalu menyebut namanya setiap dipanjatkan doa dalam majlis
dzikir. Masih banyak pula rintangan kehidupan agar kami benar menjadi ‘orang’
yang tidak mudah diplintar-plintir. Dan menjadi
sosok yang kuat dari tetangga yang suka nyinyir. Doakan kami agar bisa menjadi
pelaku sejarah bukan penumpang dalam kehidupan yang disetir oleh seorang sopir.
Karena banyak permasalahan yang harus terpecahkan dan sejatinya kisah ini
memang masih belum berakhir.