Saya
tuliskan kisah kehiupan saya dengan sebenar-benarnya.Semoga dapat membuka
nurani saudara-saudara pembaca, bahwa masih banyak di republic ini yang kurang
beruntung. Anak-anak yang istiqomah dalam menggapai cita-citanya. Entah hal
tersebut berhasil atau tidak. Toh, yang penting mereka telah berusaha
semaksimal mungkin. Akan tetapi, tetap saja ALLAH SWT yang memberikan
keputusan. Dan IA pula yang mempunyai rencana bagi masa depan kita. Baiklah,
kita mulai perjalanan kita untuk melihat fakta-fakta tersebut.
Saya
Disma Taskoh. Sehari-hari saya biasa dipanggil dengan “Anang” yang merupakan
slang dari panggilan “lanang” atau
“anak
laki-laki” dalam bahasa jawa oleh nenek saya yang berasal dari Jombang,
Jawa
Timur. insyaALLAH saya dilahirkan 17 tahundi kota Jakarta. Ketika saya
dilahirkan, ayah saya adlah seorang kontraktor instalasi listrik yang
sukses di
ibu kota medio 1990-an. Dia sering kali mengerjakan proyek-proyek milik
pemerintah, begitulah yang saudara saya sering ceritakan. Sementara, ibu
saya
adalah seorang perawat di RS Haji Jakarta. Akan tetapi, karena beberapa
sebab,
ibu saya memutuskan untuk meninggalkan profesinya pada sekitar
pertengahan 1995
dan lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Saya mempunyai 3 orang
saudara kandung. Ketiganya adalah perempuan, yaitu 2 kakak dan 1 adik.
Kakak yang
pertama adalah Dwi Roro Pambayun. Dia adalah pegawai kasir di Guardian
Pharmasy.
Dia juga seorang mahasiswa di Universitas Bhayangkara Jakarta Timur
melalui
beasiswa prestasi. Sementara kakak saya yang kedua bernama Debi
Anggraeni. Dia seorang Mahasiswa di STAIN Jember, juga melalui beasiswa
prestasi. Dia bersama dengan saya tinggal di Panti Asuhan / Yayasan AR
ROUDHOH Jember hingga kini.
Pada
sekitar medio 1990-an keluarga saya terhitung sejahtera. Kami mempunyai
4 rumah di kota yang berlainan dan sebuah mobil "sedan" Timor yang
ketika itu cukup disegani masyarakat, karena merupakan proyek
revolusioner dari anak emas "Pak Presiden". Akan tetapi, roda itu selalu
berputar dan tidak dapat kita prediksi secara teapt meskipun
menggunakan rumus matematis. Medio 1998, seperti yang selalu kita
dengar, Indonesia dihadang olehkrisis moneter global, tetapi tetap saja
Indonesia merupakan negara yang menuai konsekuensi terburuk. Hal ini
dikarenakan politik pemerintahan "Pak Presiden" yang terlalu membangun
tanpa memperhitungkan secara matang resikonya. Alhasil, utang pemerintah
baik dalam negeri maupun luar negeri semakin menggunung. Puncaknya
rupiah menurun tajam nilainya terhadap dolar amerika tanpa terkendali.
Inflasi juga mencapai puncaknya dalam sejarah perekonomian nasional.
Lebih mengerikan lagi, sembako langka didapatkan. PHK pun terjadi
dimana-mana. Rakyat yang sengsarapun semakin menangis. Ketika itu ada
satu lapangan bisnis yang sangat menggiurkan, yaitu menjual sembako di
masyarakat. Mengapa sangat potensial? Karena harga dapat berfluktuasi
tanpa terkendali. Paginya berharga Rp. 2.000,- dan sorenya dapat naik
menjadi Rp. 5.000,- per satuan. Hal ini tentu sangat menguntungkan di
tengah kelangkaan sembako di Masyarakat. Lapangan bisnis ini pula
akhirnya menarik hati ayah saya. Ia menjadi seorang spekulan. Dari
awalnya seorang kontraktor instalasi listrik, ia menjadi pedagang
sembako yang spekulatif. Awalnya memang sangat menguntungkan. Tapi lama
kelamaan karena kondisi sosio-ekonomi yang tidak menentu, juga
memberikan kekhawatiran. Puncaknya ketika terjadi penjarahan massal
medio Mei 1998, hancurlah bisnis keluarga saya. Ditambah ayah saya
melakukan kredit yang akhirnya macet, sehingga menyebabkan ayah saya
kehilangan rumah, mobil, motor, dan CV. Instalasi listriknya. Tetapi
ayah saya selalu berusaha bangkit. Ia pun memutuskan keluarga kami
pindah ke Bekasi di Tambun.
Ayah
saya lalu berusaha keras mengembalikan CV Instalasi listriknya pada
jalur yang benar. Akan tetapi ia tidak berhasil melakukannya. Bahkan
rumah kami satu-satunya itu, ia jaminkan sebagai modal usaha dan tetap
saja CV tidak dapat menghindari kebangkrutan.
Tahun
2003-2004 saya dan keluarga mengalami periode tersulit dalam kehidupan.
Ayah saya menganggur di rumah karena CV-nya bangkrut. Ibu saya kemudian
berusaha menghidupikeluarga kami dengan usaha kecil-kecilan. Ia pernah
menjadi perantara dagang peralatan kosmetik dan dapur untuk mendapat
komisi. Ketika itu kakak saya yang pertama duduk di bangku SMP.
Sementara saya dan kakak saya yang kedua duduk di bangku SD. Dan yang
penting dapat belajar walaupun tidak memperoleh uang saku. Karena
jangankan jajan, saya sering melihat wajah ayah dan ibu saya tersenyum
menyembunyikan kesedihan menghibur kami. Sering kali pula saya lihat
ayah tidak makan seharian agar anak-anaknya dapat makan setidaknya 2
kali sehari. Setiap hari dengan modal sepeda butut yang kinisudah saya
jual, saya mengantarkan pisang coklat goreng setiap pagi di kantin SD
saya untuk dititipkan. Kadang hasilnya cuma untung Rp. 3.000,- dan
paling banyak Rp. 5.000,-. Pokoknya yang penting cukup membeli 1 liter
beras untuk esok hari, pikirku ketika itu.
Tahun
2005 seingatku, ayah saya mengetahui saya adalah penggemar utama sepak
bola. Ia menjanjikan kepadaku tiket menonton pertandingan Liga Djarum
Indonesia 2004/05 antara Persipura Jayapura vs Persija Jakarta. Katanya
ia akan mengambil pembayaran jasa CV-nya di proyek daerah lebak bulus
yang tertunggak. Saya tunggu janjinya hingga hari H, tetapi ia juga
belum pulang dari Kantor. Akhirnya terpaksa saya menonton pertandingan
final tersebutmelalui TV. Pada dini hari ayahku pulang dengan wajah lesu
karena gajinya belum dapat dicairkan dan meminta maaf karena tidak
dapat merealisasikan janjinya. Semenjak hari itu entah mengapa, ayahku
jatuh sakit. Awalnya dikira hanya sakit biasa, tetapi ternyata ia
mengalami sesak nafas hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada jumat
14 Oktober 2005. Kematian ayahku membukakan mataku arti kehidupan
tumpuan yang sebenernya. Dimasayang kecil itu aku sudah kehilangan
tumpuan hidupku. Dari ilmu fiqih yang aku pelajari, secari' harfiah
sebenernya aku adalah kepala keluarga sebagai pengganti ayahku. Tetapi
apa yang bisa diperbuat anak kelas 5 SD untuk menghidupi keluarganya.
Akhirnya aku menerima kenyataan. Aku menerima keputusan ibu untuk
ditipkan ke Bogor (tempat kakek-nenek) bersama kakakku yang kedua.
Sementara si sulung dan si bungsu menemani ibuku yang kembali bekerja di
apotek.
Saya
mulai lembaran hidup di Bogor, sebuah kota yang katanya selalu turun
hujan. Awalnya sangat susah menyesuaikan dengan keadaan di Bogor. Di
Bekasi memakai bahasa indo-betawi, sedangkan di Bogor memakai bahasa
sunda. Saya akui ketika itu saya mempunyai sifat yang introvert.
Cenderung terttutup, egois, individualis sehingga saya terkadang gengsi
untuk bertanya dengan teman. Ditambah ketika itu saya bukanlah anak yang
pintar. Ketika ulangan pertama Matematika, saya hanya mendapat nilai
4,65 seterusnya 5,4. Pokoknya sangat jelek. Saya sudah menyatakan
menyerah untuk mengejar ketertinggalan dari anak-anak Bogor. Tetapi
kakekku selalu memberiku semangat untuk maju. Ia mendidik saya seperti
anaknya sendiri. Untuk memacu saya, ia memasukkan saya ke Les Privat
yang biayanya cukup mahal perbulan. Ia tetap memaksa meski kondisi
keluarga kami pas-pasan. Kakek saya hanya seorang mandor bangunan yang
akan bekerja jika ada borongan sementara nenek saya hanya tukang pijat.
Tetapi kurasakan berkah perjuangan ibu. Hingga akhir semester pertama,
saya berhasil duduk di peringkat 6 di kelas. Suatu peningkatan yang
cukup signifikan. Hingga pada puncaknya setelah meraih runner up Cerdas
Cermat tingkat kecamatan, saya selalu berada di puncak pada try out,
ujian semester 2 dan Ujian Nasional SD. NEM saya mencapai 35,62. Cukup
memuaskan untuk seseorang yang baru menapaki jati dirinya. Setelah itu
saya mengambiltest di SMPN 01 Cigombong, sekolah terfavorit di wilayah
tersebut. Saya juga menjadi peraih nilai tertinggi kedua di test
tersebut. Tetapi Ujian belum berhenti hingga disitu. H-1 sebelum daftar
ulang untuk npembayaran DP uang pangkal sebesar Rp. 300.000,- belum
dapat saya penuhi. saya ucapkan terima kasih kepada paman saya, Rahmat
Hidayat yang telah berusaha mencari pinjaman kesana-kemari untuk meutup
biaya tersebut. Akhirnya biaya tersebut dapat terpenuhi dengan
keajaiban. Mulailah saya memasuki kehidupan SMP.
Juli
2007, pasca MOS, kegiatan belajar di SMP telah dimulai saya bertemu
dengan orang-orang kebut disana. Mulai persaingan belajar, guru yang
hebat, sekolah yang keren, kakak kelas yang terkenal. Ketika itu aku
agak arogan. Aku berlagak siswa terpintar di kelas VII-7, karena UN saya
tertinggi di SD. Tetapi hasil kesombongan akhirnya berbuah bahwa hanya
mendapat ranking 6 di semester 1. Suatu hasil yang sangat mengecewakan.
Semenjak itu saya sadar bahwa kesuksesan tidak hanya didapat dengan
kecerdasan tetapi ditambah dengan akhlak yang baik. Aku mulai intropeksi
diri, dan berhasil.Saya konstan di peringkat 1 dari kelas VII semester 2
hingga kelas IX semester II. Masa-masa kelas IX adalah masa yang tidak
terlupakan di SMP. Ada 2 guru yang selalu menginspirasiku. Beliau adalah
Ibu Hj. Rita dan Pak Muksin. Bu Rita adalah orang yang selalu menyemangatiku agar selalu menjadi yang terbaik. Ia
tahu saya adalah siswa yang tidak mampu secara ekonomi. Ada satu
kata-katanya yang selalu saya ingat di dalam pikiranku "Jangan kalian
sekolah di sekolah luar biasa kalau hanya untuk menjadi seorang yang
biasa. Tetapi jadilah orang yang luar biasa di sekolah yang biasa.
Sementara Pak Muksin adalah orang yang naratif. Seorang guru yang tegas
dan cerdas untuk menarasikan arsitek yang membuatku meraih medali
perunggu pada olimpiade IPS tingkay regional (DKI Jakarta, Banten<
Jabar) SMP di UPI Bandung. Sering ia menyatakan akan membantu biaya SMA
jika lulus untuk menyemangatiku. Tetapi, aku mencoba realistis dengan
mengatakan akan melanjutkan di SMKN Tambun Bekasi untuk meneruskan karir
almarhum ayahku.
Sering saya menyadari berapa persenkah pentingnya UN bagi kemajuan pendidikan nasional. Banyak fenomena terjatuhnya anak-anak cerdas pada Un. Padahal anak yang kemampuannya jauh di bwahnya berhasil mendapat nilai yang tidak masuk akal. Hasil itu pula yang terjadi pada diri saya. Seorang yang konsisten berada di barisan teratas dan Olimpiade SMP tetapi hanya mendapat nilai UN tertinggi ke-10. Sedangkan teman-teman saya yang dulu hanya membolos dan bikin onar mendapat peringkat 1-5 se-SMP. Mungkin banyak pihak menyadari betapa inefisrensi UN. Tetapi tidak mengapa, tetap kuteruskan cita-citaku untuk bersekolah di SMKN 1 Tambun. Pasca UN aku pulang ke Bekasi untuk persiapan tes masuk di SMKN 1 Tambun.
Akhirnya suatu hari, dengan berat ibuku mengungkapkan bahwa ia tidak sanggup untuk menyekolahkanku di SMKN 1 Tambun karena biayanyaterlalu besar. Ia mempersilahkan saya untuk pergi ke Jember untuk bersekolah bersama kakak saya. Saya tidak mau karena Jember tidak pernah ada dalam rencana hidup saya. Hingga suatu insiden lagi-lagi mengingatkan saya. Suatu sliding tackle yang tak terduga telah mematahkan tangan kiri saya dalam suatu pertandingan tarkam sepakbola. Ibu saya menangis atas cedera saya dan meminta saya agar segera ke Jember. Aku tidak tega melihatnya menangis, setelah tanganku cukup sembuh aku berangkat ke Jember dengan tujuan untuk sekolah yang tanpa berbiaya. Awalnya aku kira Jember kota yang masih desa dengan pemandangan kanan kiri persawahan hijau yang luas.
Sering saya menyadari berapa persenkah pentingnya UN bagi kemajuan pendidikan nasional. Banyak fenomena terjatuhnya anak-anak cerdas pada Un. Padahal anak yang kemampuannya jauh di bwahnya berhasil mendapat nilai yang tidak masuk akal. Hasil itu pula yang terjadi pada diri saya. Seorang yang konsisten berada di barisan teratas dan Olimpiade SMP tetapi hanya mendapat nilai UN tertinggi ke-10. Sedangkan teman-teman saya yang dulu hanya membolos dan bikin onar mendapat peringkat 1-5 se-SMP. Mungkin banyak pihak menyadari betapa inefisrensi UN. Tetapi tidak mengapa, tetap kuteruskan cita-citaku untuk bersekolah di SMKN 1 Tambun. Pasca UN aku pulang ke Bekasi untuk persiapan tes masuk di SMKN 1 Tambun.
Akhirnya suatu hari, dengan berat ibuku mengungkapkan bahwa ia tidak sanggup untuk menyekolahkanku di SMKN 1 Tambun karena biayanyaterlalu besar. Ia mempersilahkan saya untuk pergi ke Jember untuk bersekolah bersama kakak saya. Saya tidak mau karena Jember tidak pernah ada dalam rencana hidup saya. Hingga suatu insiden lagi-lagi mengingatkan saya. Suatu sliding tackle yang tak terduga telah mematahkan tangan kiri saya dalam suatu pertandingan tarkam sepakbola. Ibu saya menangis atas cedera saya dan meminta saya agar segera ke Jember. Aku tidak tega melihatnya menangis, setelah tanganku cukup sembuh aku berangkat ke Jember dengan tujuan untuk sekolah yang tanpa berbiaya. Awalnya aku kira Jember kota yang masih desa dengan pemandangan kanan kiri persawahan hijau yang luas.
0 komentar :
Posting Komentar