Rabu, 23 Oktober 2013

Kisah Hidupku, Selalu Ingin Berjuang



Saya tuliskan kisah kehiupan saya dengan sebenar-benarnya.Semoga dapat membuka nurani saudara-saudara pembaca, bahwa masih banyak di republic ini yang kurang beruntung. Anak-anak yang istiqomah dalam menggapai cita-citanya. Entah hal tersebut berhasil atau tidak. Toh, yang penting mereka telah berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi, tetap saja ALLAH SWT yang memberikan keputusan. Dan IA pula yang mempunyai rencana bagi masa depan kita. Baiklah, kita mulai perjalanan kita untuk melihat fakta-fakta tersebut.


Saya Disma Taskoh. Sehari-hari saya biasa dipanggil dengan “Anang” yang merupakan slang dari panggilan “lanang”  atau “anak laki-laki” dalam bahasa jawa oleh nenek saya yang berasal dari Jombang, Jawa Timur. insyaALLAH saya dilahirkan 17 tahundi kota Jakarta. Ketika saya dilahirkan, ayah saya adlah seorang kontraktor instalasi listrik yang sukses di ibu kota medio 1990-an. Dia sering kali mengerjakan proyek-proyek milik pemerintah, begitulah yang saudara saya sering ceritakan. Sementara, ibu saya adalah seorang perawat di RS Haji Jakarta. Akan tetapi, karena beberapa sebab, ibu saya memutuskan untuk meninggalkan profesinya pada sekitar pertengahan 1995 dan lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Saya mempunyai 3 orang saudara kandung. Ketiganya adalah perempuan, yaitu 2 kakak dan 1 adik. Kakak yang pertama adalah Dwi Roro Pambayun. Dia adalah pegawai kasir di Guardian Pharmasy. Dia juga seorang mahasiswa di Universitas Bhayangkara Jakarta Timur melalui beasiswa prestasi. Sementara kakak saya yang kedua bernama Debi Anggraeni. Dia seorang Mahasiswa di STAIN Jember, juga melalui beasiswa prestasi. Dia bersama dengan saya tinggal di Panti Asuhan / Yayasan AR ROUDHOH Jember hingga kini.



Pada sekitar medio 1990-an keluarga saya terhitung sejahtera. Kami mempunyai 4 rumah di kota yang berlainan dan sebuah mobil "sedan" Timor yang ketika itu cukup disegani masyarakat, karena merupakan proyek revolusioner dari anak emas "Pak Presiden". Akan tetapi, roda itu selalu berputar dan tidak dapat kita prediksi secara teapt meskipun menggunakan rumus matematis. Medio 1998, seperti yang selalu kita dengar, Indonesia dihadang olehkrisis moneter global, tetapi tetap saja Indonesia merupakan negara yang menuai konsekuensi terburuk. Hal ini dikarenakan politik pemerintahan "Pak Presiden" yang terlalu membangun tanpa memperhitungkan secara matang resikonya. Alhasil, utang pemerintah baik dalam negeri maupun luar negeri semakin menggunung. Puncaknya rupiah menurun tajam nilainya terhadap dolar amerika tanpa terkendali. Inflasi juga mencapai puncaknya dalam sejarah perekonomian nasional. Lebih mengerikan lagi, sembako langka didapatkan. PHK pun terjadi dimana-mana. Rakyat yang sengsarapun semakin menangis. Ketika itu ada satu lapangan bisnis yang sangat menggiurkan, yaitu menjual sembako di masyarakat. Mengapa sangat potensial? Karena harga dapat berfluktuasi tanpa terkendali. Paginya berharga Rp. 2.000,- dan sorenya dapat naik menjadi Rp. 5.000,- per satuan. Hal ini tentu sangat menguntungkan di tengah kelangkaan sembako di Masyarakat. Lapangan bisnis ini pula akhirnya menarik hati ayah saya. Ia menjadi seorang spekulan. Dari awalnya seorang kontraktor instalasi listrik, ia menjadi pedagang sembako yang spekulatif. Awalnya memang sangat menguntungkan. Tapi lama kelamaan karena kondisi sosio-ekonomi yang tidak menentu, juga memberikan kekhawatiran. Puncaknya ketika terjadi penjarahan massal medio Mei 1998, hancurlah bisnis keluarga saya. Ditambah ayah saya melakukan kredit yang akhirnya macet, sehingga menyebabkan ayah saya kehilangan rumah, mobil, motor, dan CV. Instalasi listriknya. Tetapi ayah saya selalu berusaha bangkit. Ia pun memutuskan keluarga kami pindah ke Bekasi di Tambun.


Ayah saya lalu berusaha keras mengembalikan CV Instalasi listriknya pada jalur yang benar. Akan tetapi ia tidak berhasil melakukannya. Bahkan rumah kami satu-satunya itu, ia jaminkan sebagai modal usaha dan tetap saja CV tidak dapat menghindari kebangkrutan.

Tahun 2003-2004 saya dan keluarga mengalami periode tersulit dalam kehidupan. Ayah saya menganggur di rumah karena CV-nya bangkrut. Ibu saya kemudian berusaha menghidupikeluarga kami dengan usaha kecil-kecilan. Ia pernah menjadi perantara dagang peralatan kosmetik dan dapur untuk mendapat komisi. Ketika itu kakak saya yang pertama duduk di bangku SMP. Sementara saya dan kakak saya yang kedua duduk di bangku SD. Dan yang penting dapat belajar walaupun tidak memperoleh uang saku. Karena jangankan jajan, saya sering melihat wajah ayah dan ibu saya tersenyum menyembunyikan kesedihan menghibur kami. Sering kali pula saya lihat ayah tidak makan seharian agar anak-anaknya dapat makan setidaknya 2 kali sehari. Setiap hari dengan modal sepeda butut yang kinisudah saya jual, saya mengantarkan pisang coklat goreng setiap pagi di kantin SD saya untuk dititipkan. Kadang hasilnya cuma untung Rp. 3.000,- dan paling banyak Rp. 5.000,-. Pokoknya yang penting cukup membeli 1 liter beras untuk esok hari, pikirku ketika itu.

Tahun 2005 seingatku, ayah saya mengetahui saya adalah penggemar utama sepak bola. Ia menjanjikan kepadaku tiket menonton pertandingan Liga Djarum Indonesia 2004/05 antara Persipura Jayapura vs Persija Jakarta. Katanya ia akan mengambil pembayaran jasa CV-nya di proyek daerah lebak bulus yang tertunggak. Saya tunggu janjinya hingga hari H, tetapi ia juga belum pulang dari Kantor. Akhirnya terpaksa saya menonton pertandingan final tersebutmelalui TV. Pada dini hari ayahku pulang dengan wajah lesu karena gajinya belum dapat dicairkan dan meminta maaf karena tidak dapat merealisasikan janjinya. Semenjak hari itu entah mengapa, ayahku jatuh sakit. Awalnya dikira hanya sakit biasa, tetapi ternyata ia mengalami sesak nafas hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada jumat 14 Oktober 2005. Kematian ayahku membukakan mataku arti kehidupan tumpuan yang sebenernya. Dimasayang kecil itu aku sudah kehilangan tumpuan hidupku. Dari ilmu fiqih yang aku pelajari, secari' harfiah sebenernya aku adalah kepala keluarga sebagai pengganti ayahku. Tetapi apa yang bisa diperbuat anak kelas 5 SD untuk menghidupi keluarganya. Akhirnya aku menerima kenyataan. Aku menerima keputusan ibu untuk ditipkan ke Bogor (tempat kakek-nenek) bersama kakakku yang kedua. Sementara si sulung dan si bungsu menemani ibuku yang kembali bekerja di apotek.
Saya mulai lembaran hidup di Bogor, sebuah kota yang katanya selalu turun hujan. Awalnya sangat susah menyesuaikan dengan keadaan di Bogor. Di Bekasi memakai bahasa indo-betawi, sedangkan di Bogor memakai bahasa sunda. Saya akui ketika itu saya mempunyai sifat yang introvert. Cenderung terttutup, egois, individualis sehingga saya terkadang gengsi untuk bertanya dengan teman. Ditambah ketika itu saya bukanlah anak yang pintar. Ketika ulangan pertama Matematika, saya hanya mendapat nilai 4,65 seterusnya 5,4. Pokoknya sangat jelek. Saya sudah menyatakan menyerah untuk mengejar ketertinggalan dari anak-anak Bogor. Tetapi kakekku selalu memberiku semangat untuk maju. Ia mendidik saya seperti anaknya sendiri. Untuk memacu saya, ia memasukkan saya ke Les Privat yang biayanya cukup mahal perbulan. Ia tetap memaksa meski kondisi keluarga kami pas-pasan. Kakek saya hanya seorang mandor bangunan yang akan bekerja jika ada borongan sementara nenek saya hanya tukang pijat. Tetapi kurasakan berkah perjuangan ibu. Hingga akhir semester pertama, saya berhasil duduk di peringkat 6 di kelas. Suatu peningkatan yang cukup signifikan. Hingga pada puncaknya setelah meraih runner up Cerdas Cermat tingkat kecamatan, saya selalu berada di puncak pada try out, ujian semester 2 dan Ujian Nasional SD. NEM saya mencapai 35,62. Cukup memuaskan untuk seseorang yang baru menapaki jati dirinya. Setelah itu saya mengambiltest di SMPN 01 Cigombong, sekolah terfavorit di wilayah tersebut. Saya juga menjadi peraih nilai tertinggi kedua di test tersebut. Tetapi Ujian belum berhenti hingga disitu. H-1 sebelum daftar ulang untuk npembayaran DP uang pangkal sebesar Rp. 300.000,- belum dapat saya penuhi. saya ucapkan terima kasih kepada paman saya, Rahmat Hidayat yang telah berusaha mencari pinjaman kesana-kemari untuk meutup biaya tersebut. Akhirnya biaya tersebut dapat terpenuhi dengan keajaiban. Mulailah saya memasuki kehidupan SMP.
Juli 2007, pasca MOS, kegiatan belajar di SMP telah dimulai saya bertemu dengan orang-orang kebut disana. Mulai persaingan belajar, guru yang hebat, sekolah yang keren, kakak kelas yang terkenal. Ketika itu aku agak arogan. Aku berlagak siswa terpintar di kelas VII-7, karena UN saya tertinggi di SD. Tetapi hasil kesombongan akhirnya berbuah bahwa hanya mendapat ranking 6 di semester 1. Suatu hasil yang sangat mengecewakan. Semenjak itu saya sadar bahwa kesuksesan tidak hanya didapat dengan kecerdasan tetapi ditambah dengan akhlak yang baik. Aku mulai intropeksi diri, dan berhasil.Saya konstan di peringkat 1 dari kelas VII semester 2 hingga kelas IX semester II. Masa-masa kelas IX adalah masa yang tidak terlupakan di SMP. Ada 2 guru yang selalu menginspirasiku. Beliau adalah Ibu Hj. Rita dan Pak Muksin. Bu Rita adalah orang yang selalu menyemangatiku agar selalu menjadi yang terbaik. Ia tahu saya adalah siswa yang tidak mampu secara ekonomi. Ada satu kata-katanya yang selalu saya ingat di dalam pikiranku "Jangan kalian sekolah di sekolah luar biasa kalau hanya untuk menjadi seorang yang biasa. Tetapi jadilah orang yang luar biasa di sekolah yang biasa. Sementara Pak Muksin adalah orang yang naratif. Seorang guru yang tegas dan cerdas untuk menarasikan arsitek yang membuatku meraih medali perunggu pada olimpiade IPS tingkay regional (DKI Jakarta, Banten< Jabar) SMP di UPI Bandung. Sering ia menyatakan akan membantu biaya SMA jika lulus untuk menyemangatiku. Tetapi, aku mencoba realistis dengan mengatakan akan melanjutkan di SMKN Tambun Bekasi untuk meneruskan karir almarhum ayahku.

Sering saya menyadari berapa persenkah pentingnya UN bagi kemajuan pendidikan nasional. Banyak fenomena terjatuhnya anak-anak cerdas pada Un. Padahal anak yang kemampuannya jauh di bwahnya berhasil mendapat nilai yang tidak masuk akal. Hasil itu pula yang terjadi pada diri saya. Seorang yang konsisten berada di barisan teratas dan Olimpiade SMP tetapi hanya mendapat nilai UN tertinggi ke-10. Sedangkan teman-teman saya yang dulu hanya membolos dan bikin onar mendapat peringkat 1-5 se-SMP. Mungkin banyak pihak menyadari betapa inefisrensi UN. Tetapi tidak mengapa, tetap kuteruskan cita-citaku untuk bersekolah di SMKN 1 Tambun. Pasca UN aku pulang ke Bekasi untuk persiapan tes masuk di SMKN 1 Tambun.

Akhirnya suatu hari, dengan berat ibuku mengungkapkan bahwa ia tidak sanggup untuk menyekolahkanku di SMKN 1 Tambun karena biayanyaterlalu besar. Ia mempersilahkan saya untuk pergi ke Jember untuk bersekolah bersama kakak saya. Saya tidak mau karena Jember tidak pernah ada dalam rencana hidup saya. Hingga suatu insiden lagi-lagi mengingatkan saya. Suatu sliding tackle yang tak terduga telah mematahkan tangan kiri saya dalam suatu pertandingan tarkam sepakbola. Ibu saya menangis atas cedera saya dan meminta saya agar segera ke Jember. Aku tidak tega melihatnya menangis, setelah tanganku cukup sembuh aku berangkat ke Jember dengan tujuan untuk sekolah yang tanpa berbiaya. Awalnya aku kira Jember kota yang masih desa  dengan pemandangan kanan kiri  persawahan hijau yang luas.

0 komentar :

Posting Komentar