Karya : Eri Doni
Indonesia. Siapa yang tak kenal
Indonesia? Negara dengan potensi sumber daya yang melimpah, negara dengan
warisan budaya yang luar biasa, negara yang diibaratkan Multatuli sebagai
Zamrud Khatulistiwa. Belum lagi orang-orangnya. Seluruh dunia kagum dengan
keramahan rakyat Indonesia, kagum dengan demokrasinya, toleransinya, dan kagum
dengan kemampuannya. Coba, siapa yang mengatakan bahwa Bapak B.J. Habibie
bodoh? Siapa yang berpendapat Basuki Abdullah atau Affandi adalah seniman
kacangan? Atau, siapa sih yang tidak
kenal dengan Presiden Sukarno –presiden dari negara yang baru lahir, yang
berani untuk tidak bergabung dengan salah satu blok negara adikuasa pada era Perang
Dingin? Tentu saja, jawabannya tidak. Tidak ada yang tidak mengenal Indonesia,
pun tidak ada yang meremehkan Indonesia dengan potensi sumberdayanya, dan kredibilitas
orang-orangnya.
Orang Indonesia sendiripun
tahu, seberapa besar harga dari negara ini. Tapi yang menjadi pertanyaan di
sini adalah “lalu kapan Indonesia menjadi negara besar?”. Ya, bukankah
Indonesia memiliki laut yang luas yang berpotensi
dalam berbagai bidang, mulai perikanan, pariwisata, hingga pertambangan.
Daerah-daerah pedalaman Indonesia yang belum dieksplorasi juga masih luas,
masih menyisakan potensi besar untuk
bidang industri, pertanian, perkebunan dan (lagi-lagi) pariwisata. Selain itu,
masih ada lahan-lahan di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan. Tapi mengapa
Indonesia masih tetap seperti saat ini?
Oh
iya, potensi! Masih dikatakan potensi, yakni suatu kata yang
menyatakan kemampuan tersembunyi yang belum dimanfaatkan. Yang dimiliki
Indonesia masih berupa potensi,
belum bahan nyata yang digunakan untuk pembangunan. Lalu yang dibutuhkan untuk
mengubah potensi itu menjadi bahan
nyata adalah manusia, Sumber Daya Manusia.
Seperti yang telah
disebutkan di awal, orang-orang Indonesia memiliki kredibilitas yang tinggi,
memiliki kemampuan yang sebenarnya sudah bisa disejajarkan dengan orang-orang
di negara maju. Lihat saja anak-anak SMA di dalam olimpiade sains
internasional, atau seniman-seniman yang sudah melanglangbuana ke mancanegara,,
dan orang-orang Indonesia lain yang “kerja”-nya bukan lagi standar lokal, tapi
internasional mulai di bidang kesehatan, politik, ekonomi, hingga militer. Dengan
kata lain, SDM yang dimiliki Indonesia sebenarnya sudah cukup mumpuni untuk
mengubah potensi yang ada menjadi elemen pembangunan, dan selanjutnya mampu membangun
Indonesia hingga menjadi negara yang besar. Namun lagi-lagi, teori seperti itu
tidak disesuaikan dengan kenyataan. Indonesia masih saja menjadi negara berkembang,
yang digerogoti korupsi, yang dibayangi terorisme, yang dirongrong kekuatan
dari luar, yang dihinggapi kecemburuan sosial, dan masih bangga dengan segala potensi yang ada.
Oleh karena itu, yang
dibutuhkan Indonesia bukan sekadar SDM berkualitas yang mampu mengubah potensi
menjadi elemen pembangunan saja, akan tetapi lebih daripada itu. Yang
dibutuhkan Indonesia adalah SDM unggul yang mampu dan mau memberdayakan potensi
untuk kemajuan Indonesia, tanpa ada tambahan kepentingan pribadi atau kelompok.
Dan kemauan seperti inilah yang dimiliki oleh seorang negarawan, yakni
seseorang yang bertindak demi negaranya atas dasar kecintaan pada tanah airnya,
tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Cinta Tanah Air dari Seorang Negarawan
TANAH AIR
--- Kumbokarno ---
Akulah ksatria
Pangleburgangsa
Satu wilayah
kerajaan di Alengka
Di bawah
kekuasaan Prabu Dasamuka
Abangku, raja berilmu Pancasana
Meskipun wujudku
gandarwa
Kutrima wujud,
kupunya budi
Dan setiap
cobaan hidup
“sedumuk
bathuk sanyari bumi"
Berhadapan
dengan Prabu Rama
Sarta barisan
riwanda
Tapi bukan kerna
Sinta
Sepi tan pamrih
aku berjaga
-Right
or wrong my country-
Inilah
syair karya Linus Suryadi, yang menceritakan tentang seorang tokoh wayang bernama
Kumbokarno. Menurut epos Mahabarata, Kumbokarno adalah adik dari Prabu Dasamuka
atau yang lebih dikenal sebagai Rahwana, raja para raksasa yang menculik Dewi
Sinta, istri Prabu Rama hingga menimbulkan perang besar (Mahabarata).
Diceritakan bahwa Kumbokarno adalah sosok raksasa yang berbeda dengan
saudara-saudaranya. Tubuhnya memang besar, sebesar porsi makannya. Tapi ia juga
memiliki jiwa yang begitu besar. Tidak seperti saudaranya yang suka membuat
kerusakan, ia lebih senang bertapa, mengasingkan diri, berserah diri pada Tuhannya.
Ketika ia diminta untuk membela kakaknya (Prabu Rahwana), ia menolak dan justru
menyalahkan saudaranya yang telah menyulut peperangan.
Berbagai usaha telah
dilakukan untuk membujuknya, tapi tidak ada yang berhasil. Pada akhirnya ia
sadar bahwa ia harus terjun ke medan perang. Bukan untuk membela kakaknya yang
memang tidak pantas unuk dibela. Juga bukan karena ia ingin mengalahkan Prabu
Rama yang memang tidak seharusnya dilawan. Ia ikut berperang semata-mata untuk
mempertahankan tanah airnya. Ia tidak ingin negaranya diserang, apapun alasannya.
Ia tidak memaafkan segala bentuk penjajahan. Demi tanah airnya, iapun rela mati
di tengah medan perang. Bahkan sebelum meninggal ia sempat meminta maaf pada
Prabu Rama, dan Prabu Ramapun memberkatinya. Endingnya? Karena rasa cintanya pada tanah air, hingga ia rela
mengorbankan apa pun termasuk nyawanya sendiri untuk membela dan mempertahankan
negaranya, ia pun memperoleh kedudukan tinggi dalam kehidupan setelah kematian.
Sungguh sebuah kisah
paradoks dimana sosok raksasa, yang digambarkan sebagai bentuk kejahatan,
memperoleh kedudukan mulia karena pengorbanannya dalam mewujudkan rasa cinta
tanah airnya. Itulah salah satu dari sekian banyak kisah fiksi tentang sesorang
yang berkorban demi negaranya. Ya, memang itu hanya kisah karangan belaka,
namun tidakkah bisa kita ambil pelajaran? Dan jika ada yang berpendapat bahwa
pengorbanan seperti itu hanya ada dalam dongen, lalu bagaimana dengan Sukarno,
Hatta, Sudirman, atau pahlawan nasional lainnya? Atau baca kembali biografi
Umar bin Abdul Aziz atau Sholahuddin al Ayubi. Keduanya adalah pemimpin besar,
yang meninggal tanpa mewariskan harta. Masih kurangkah contoh seorang negarawan
yang mau berjuang demi negaranya?
Baiklah, memang tak
mudah memunculkan rasa cinta tanah air, tapi bukan berarti tidak bisa. Artinya
harus ada usaha untuk menanamkannya. Sebab apalah arti SDM dengan potensi cukup
besar untuk membawa perubahan yang dimiliki sebuah negara jika SDM itu sendiri
tidak memiliki rasa cinta pada negaranya. Hal tersebut hanya akan memunculkan
sikap apatis, egois, dan pandangan bahwa hal yang bermanfaat adalah sesuatu
yang memberi keuntungan pada dirinya. Singkatnya, ketika ia memiliki kemampuan
yang memiliki potensi untuk membawa perubahan namun tidak mendapat perhatian
atau keuntungan dari negaranya, ia akan pergi mencari negara lain yang mampu
memberinya keuntungan atas kemampuan yang ia miliki. Dengan kata lain, SDM
tanpa rasa cinta tanah air itu tak akan sungkan untuk menjual kemampuannya ke
negara lain, yang penting ia mendapatkan keuntungan. Prinsipnya, my skill is mine, and I must get profit from
it wherever the coming of the profit.
Sebaliknya, rasa cinta
tanah air akan memunculkan sikap bertanggung jawab, rasa memiliki, keinginan
untuk melindungi, kesediaan untuk membantu sesama, serta keikhalasan dalam
bertindak. Karakter SDM seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh sebuah
negara, terutama Indonesia. SDM yang memiliki kemampuan besar dengan disertai
rasa cinta tanah air dalam dirinya merupakan aset penting dalam pembangunan
yang berkelanjuatan. Sebab rasa cinta tanah air tersebut akan mendorongnya
untuk berusaha agar bukan hanya ia berjuang dan bermanfaat. Ia akan mengajak
orang lain, memberdayakan dan mendorong mereka untuk ikut serta dalam upaya
pengabdian diri pada negara, pada tanah air. Bahkan ketika ia tidak memiliki
kemampuan besar, ia akan tetap berusaha mendayagunakan diri dan ikut andil
dalam setiap perkembangan kemajuan.
Jadi, rasa cinta tanah
air ini akan membentuk SDM menjadi seorang negarawan yang berjuang dan berusaha
untuk negaranya dengan segala yang ia miliki, serta memberinya kesadaran bahwa
bertindak bersama akan memberi perubahan yang nyata terhadap hasil yang
didapat. Lalu, tentu saja imbalan atau keuntungan yang didapat akan menjadi
nomor kesekian ribu dalam perhitungannya. Prinsipnya, “Don’t ask what you get, but ask what you give”.
Akan tetapi, rasa cinta
tanah air maupun kekuatan prinsip itu hanya sebuah konsep belaka jika tidak
dibuktikan. Pembuktiannya cukup mudah, yakni, seperti yang pernah diucapkan
Presiden Sukarno, berpikir,
bertindak, baru berbicara.
Thinking
Globally, Acting Locally, Speaking Honestly
Masih
ingat lirik lagu perjuangan yang berjudul Tanah Air? Baiklah, mari bersenandung
sejenak lagi.
Tanah air ku tidak kulupakan, ‘Kan terkenang selama
hidupku
Biarpun saya pergi jauh, Tidak ‘kan hilang dari
kalbu
Tanah ku yang
kucintai, Engkau kuhargai
Biarpun banyak negeri kujalani, Yang mahsyur permai
dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah ku m’rasa
senang
Tanah ku tak
kulupakan, engkau kubanggakan
Ya, lagu itu bercerita tentang keyakinan pada tanah
air meskipun diri telah banyak bepergian ke luar negeri. Artinya, dimanapun
berada, identitas bangsa dan negara tidak akan dihilangkan.
Seorang SDM
dengan potensi besar tentu tidak bisa dibiarkan diam dalam tempatnya. Ia
haruslah bergerak, mencari ilmu, menggali pengalaman, merasakan garam
kehidupan, yang kemudian akan ia dedikasikan kepada negerinya ketika sudah pada
waktunya nanti. Istilahnya, biarkan ia merantau, merasakan sari pati hidup, dan
menjawab ujian dari rasa cinta pada tanah airnya. Karena pada saat itu
(merantau) segala kemungkinan akan terjadi, baik kemungkinan baik ataupun
buruk. Kenyataan hidup akan terlihat jelas, yang biasanya sangat berbeda dengan
prinsip-prinsip atau teori-teori yang ada. Jadi pada saat itulah kekuatan cinta
tanah air akan diuji, apakah seorang SDM akan tetap memegang prinsipnya, atau
menyerah pada kenyataan.
Istilah merantau
dalam hal ini bukan secara harfiah atau dalam arti harus bepergian ke luar
negeri atau berpetualang keliling dunia. Bukan seperti itu. Sebab yang lebih
penting sebenarnya adalah pengembangan pemikiran. Menggali ilmu
sedalam-dalamnya, mengasah ketajaman berpikir, mempelajari bentuk-bentuk
kehidupan dunia. Hingga akhirnya membentuk pola berpikir yang luas dan jauh ke
depan, pola pemikiran yang modern dan berkembang. Istilahnya, Thinking
Globally.
Akan tetapi
dalam eksekusinya, tindakan yang mencerminkan cinta tanah air-lah yang
diambilnya. Seperti apa? Ya, bersikap tenggang rasa dan penuh toleransi,
bertanggung jawab dalam setiap tindakannya, mengutamakan kebersamaan dan kerja
sama, tetap menjaga dan melestarikan adat budaya, dan selera tetap bercita rasa
tanah air. Jadi, meskipun memiliki pengetahuan dan pemikiran yang modern,
identitas bangsa dan negara tetaplah dijaga yang terefleksikan pada setiap
tindakan yang diambil. Well, Acting Locally beraksi di sini.
Pemikiran maupun
tindakan hanya akan menjadi pengalaman yang sekali lewat, atau hanya akan
dinikmati diri sendiri ketika tidak diungkapkan. Artinya, kedua hal tersebut
perlu dipaparkan kepada umum sebab tentu saja ide pikiran yang sama dari banyak
orang akan lebih kuat daripada dari seorang saja. Pengungkapan ini tidak hanya
berupa lisan saja, tapi juga bisa berupa tulisan. Sebab inti dari pengungkapan
ini adalah bagaimana ide dan tujuan tindakan bisa tersampaikan kepada orang
lain, sehingga bisa memberi inspirasi dan pengaruh dalam tindakan mereka. Dan
yang menjadi poin penting dalam pengungkapan ini adalah kejujuran. Layaknya
sebuah pepatah lama, bahwa “kejujuran
adalah mata uang yang berlaku dimana saja”. Begitu juga dengan kejujuran
pengungkapan. Jadi Speaking Honestly adalah kunci utama dalam keberhasilan mewujudkan
rasa cinta tanah air.
Thinking globally membentuk
kerangka berpikir yang luas dan menyeluruh, Acting
locally menyatakan pemikiran dalam bentuk tindakan yang tetap memegang
nilai-nilai adat budaya, dan Speaking
honestly memungkinkan pikiran dan tindakan bukan hanya oleh diri sendiri
tapi juga bisa disebarluakan pada orang lain. Ya, sebuah konsep pemberdayaan
yang harus dilakukan oleh seorang negarawan, yakni SDM yang memiliki kemampuan
dan kemauan untuk membangun negaranya.
Negarawan Home
– Away
Ketika rasa
cinta tanah air menjadi dasar dari setiap pemikiran, tindakan, dan ucapan dari
SDM yang berpotensi, hal ini akan mempengaruhi orientasi tujuan perbuatannya.
Rasa cinta tanah air membentuk pribadi yang bertanggung jawab dan bisa
diandalkan. Artinya, itulah yang harus ditanamkan dalam diri sebelum bertindak
lebih jauh. Setelah tertanam, tinggal dipupuk hingga akhirnya rasa cinta tanah
air itu tumbuh besar dan menjadi panduan dalam setiap perbuatan.
Lalu setelah
rasa cinta tanah air tertanam, saatnya bertindak pada kehidupan nyata di luar
segala teori. Dimana, tindakan yang dilakukan adalah untuk dan hanya untuk
kemajuan negara. Dan sadar bahwa, kekuatan yang sesungguhnya bukan dari diri
sendiri saja, tapi dari banyak orang dengan berbagai mimpinya tapi memiliki
visi yang sama. Berjuang demi negara yang dicintai. Karakter SDM seperti itulah
yang memiliki potensi besar untuk kemajuan negara.
Well,
dari awal selalu dibicarakan SDM yang berpotensi, tapi siapa yang disebut
sebagai SDM yang berpotensi itu? Tentu saja pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia
yang memiliki jiwa negarawan, yang bermetamorfosis menjadi calon penerus
bangsa. Negarawan muda yang menang di kandang, dan menjadi bintang di tandang.
Negarawan Muda Home – Away.
Tentang Penulis
Nama : Eri Doni
Studi : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan