Rabu, 31 Juli 2013

Negarawan Home – Away

Karya : Eri Doni

Indonesia. Siapa yang tak kenal Indonesia? Negara dengan potensi sumber daya yang melimpah, negara dengan warisan budaya yang luar biasa, negara yang diibaratkan Multatuli sebagai Zamrud Khatulistiwa. Belum lagi orang-orangnya. Seluruh dunia kagum dengan keramahan rakyat Indonesia, kagum dengan demokrasinya, toleransinya, dan kagum dengan kemampuannya. Coba, siapa yang mengatakan bahwa Bapak B.J. Habibie bodoh? Siapa yang berpendapat Basuki Abdullah atau Affandi adalah seniman kacangan? Atau, siapa sih yang tidak kenal dengan Presiden Sukarno –presiden dari negara yang baru lahir, yang berani untuk tidak bergabung dengan salah satu blok negara adikuasa pada era Perang Dingin? Tentu saja, jawabannya tidak. Tidak ada yang tidak mengenal Indonesia, pun tidak ada yang meremehkan Indonesia dengan potensi sumberdayanya, dan kredibilitas orang-orangnya.
Orang Indonesia sendiripun tahu, seberapa besar harga dari negara ini. Tapi yang menjadi pertanyaan di sini adalah “lalu kapan Indonesia menjadi negara besar?”. Ya, bukankah Indonesia memiliki laut yang luas yang berpotensi dalam berbagai bidang, mulai perikanan, pariwisata, hingga pertambangan. Daerah-daerah pedalaman Indonesia yang belum dieksplorasi juga masih luas, masih menyisakan potensi besar untuk bidang industri, pertanian, perkebunan dan (lagi-lagi) pariwisata. Selain itu, masih ada lahan-lahan di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan. Tapi mengapa Indonesia masih tetap seperti saat ini?
            Oh iya, potensi! Masih dikatakan potensi, yakni suatu kata yang menyatakan kemampuan tersembunyi yang belum dimanfaatkan. Yang dimiliki Indonesia masih berupa potensi, belum bahan nyata yang digunakan untuk pembangunan. Lalu yang dibutuhkan untuk mengubah potensi itu menjadi bahan nyata adalah manusia, Sumber Daya Manusia.
Seperti yang telah disebutkan di awal, orang-orang Indonesia memiliki kredibilitas yang tinggi, memiliki kemampuan yang sebenarnya sudah bisa disejajarkan dengan orang-orang di negara maju. Lihat saja anak-anak SMA di dalam olimpiade sains internasional, atau seniman-seniman yang sudah melanglangbuana ke mancanegara,, dan orang-orang Indonesia lain yang “kerja”-nya bukan lagi standar lokal, tapi internasional mulai di bidang kesehatan, politik, ekonomi, hingga militer. Dengan kata lain, SDM yang dimiliki Indonesia sebenarnya sudah cukup mumpuni untuk mengubah potensi yang ada menjadi elemen pembangunan, dan selanjutnya mampu membangun Indonesia hingga menjadi negara yang besar. Namun lagi-lagi, teori seperti itu tidak disesuaikan dengan kenyataan. Indonesia masih saja menjadi negara berkembang, yang digerogoti korupsi, yang dibayangi terorisme, yang dirongrong kekuatan dari luar, yang dihinggapi kecemburuan sosial, dan masih bangga dengan segala potensi yang ada.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan Indonesia bukan sekadar SDM berkualitas yang mampu mengubah potensi menjadi elemen pembangunan saja, akan tetapi lebih daripada itu. Yang dibutuhkan Indonesia adalah SDM unggul yang mampu dan mau memberdayakan potensi untuk kemajuan Indonesia, tanpa ada tambahan kepentingan pribadi atau kelompok. Dan kemauan seperti inilah yang dimiliki oleh seorang negarawan, yakni seseorang yang bertindak demi negaranya atas dasar kecintaan pada tanah airnya, tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Cinta Tanah Air dari Seorang Negarawan

TANAH AIR

--- Kumbokarno ---
Akulah ksatria Pangleburgangsa
Satu wilayah kerajaan di Alengka
Di bawah kekuasaan Prabu Dasamuka
Abangku, raja berilmu Pancasana
Meskipun wujudku gandarwa
Kutrima wujud, kupunya budi
Dan setiap cobaan hidup
sedumuk bathuk sanyari bumi"
Berhadapan dengan Prabu Rama
Sarta barisan riwanda
Tapi bukan kerna Sinta
Sepi tan pamrih aku berjaga
-Right or wrong my country-
            Inilah syair karya Linus Suryadi, yang menceritakan tentang seorang tokoh wayang bernama Kumbokarno. Menurut epos Mahabarata, Kumbokarno adalah adik dari Prabu Dasamuka atau yang lebih dikenal sebagai Rahwana, raja para raksasa yang menculik Dewi Sinta, istri Prabu Rama hingga menimbulkan perang besar (Mahabarata). Diceritakan bahwa Kumbokarno adalah sosok raksasa yang berbeda dengan saudara-saudaranya. Tubuhnya memang besar, sebesar porsi makannya. Tapi ia juga memiliki jiwa yang begitu besar. Tidak seperti saudaranya yang suka membuat kerusakan, ia lebih senang bertapa, mengasingkan diri, berserah diri pada Tuhannya. Ketika ia diminta untuk membela kakaknya (Prabu Rahwana), ia menolak dan justru menyalahkan saudaranya yang telah menyulut peperangan.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk membujuknya, tapi tidak ada yang berhasil. Pada akhirnya ia sadar bahwa ia harus terjun ke medan perang. Bukan untuk membela kakaknya yang memang tidak pantas unuk dibela. Juga bukan karena ia ingin mengalahkan Prabu Rama yang memang tidak seharusnya dilawan. Ia ikut berperang semata-mata untuk mempertahankan tanah airnya. Ia tidak ingin negaranya diserang, apapun alasannya. Ia tidak memaafkan segala bentuk penjajahan. Demi tanah airnya, iapun rela mati di tengah medan perang. Bahkan sebelum meninggal ia sempat meminta maaf pada Prabu Rama, dan Prabu Ramapun memberkatinya. Endingnya? Karena rasa cintanya pada tanah air, hingga ia rela mengorbankan apa pun termasuk nyawanya sendiri untuk membela dan mempertahankan negaranya, ia pun memperoleh kedudukan tinggi dalam kehidupan setelah kematian.

Sungguh sebuah kisah paradoks dimana sosok raksasa, yang digambarkan sebagai bentuk kejahatan, memperoleh kedudukan mulia karena pengorbanannya dalam mewujudkan rasa cinta tanah airnya. Itulah salah satu dari sekian banyak kisah fiksi tentang sesorang yang berkorban demi negaranya. Ya, memang itu hanya kisah karangan belaka, namun tidakkah bisa kita ambil pelajaran? Dan jika ada yang berpendapat bahwa pengorbanan seperti itu hanya ada dalam dongen, lalu bagaimana dengan Sukarno, Hatta, Sudirman, atau pahlawan nasional lainnya? Atau baca kembali biografi Umar bin Abdul Aziz atau Sholahuddin al Ayubi. Keduanya adalah pemimpin besar, yang meninggal tanpa mewariskan harta. Masih kurangkah contoh seorang negarawan yang mau berjuang demi negaranya?

Baiklah, memang tak mudah memunculkan rasa cinta tanah air, tapi bukan berarti tidak bisa. Artinya harus ada usaha untuk menanamkannya. Sebab apalah arti SDM dengan potensi cukup besar untuk membawa perubahan yang dimiliki sebuah negara jika SDM itu sendiri tidak memiliki rasa cinta pada negaranya. Hal tersebut hanya akan memunculkan sikap apatis, egois, dan pandangan bahwa hal yang bermanfaat adalah sesuatu yang memberi keuntungan pada dirinya. Singkatnya, ketika ia memiliki kemampuan yang memiliki potensi untuk membawa perubahan namun tidak mendapat perhatian atau keuntungan dari negaranya, ia akan pergi mencari negara lain yang mampu memberinya keuntungan atas kemampuan yang ia miliki. Dengan kata lain, SDM tanpa rasa cinta tanah air itu tak akan sungkan untuk menjual kemampuannya ke negara lain, yang penting ia mendapatkan keuntungan. Prinsipnya, my skill is mine, and I must get profit from it  wherever the coming of the profit.

Sebaliknya, rasa cinta tanah air akan memunculkan sikap bertanggung jawab, rasa memiliki, keinginan untuk melindungi, kesediaan untuk membantu sesama, serta keikhalasan dalam bertindak. Karakter SDM seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh sebuah negara, terutama Indonesia. SDM yang memiliki kemampuan besar dengan disertai rasa cinta tanah air dalam dirinya merupakan aset penting dalam pembangunan yang berkelanjuatan. Sebab rasa cinta tanah air tersebut akan mendorongnya untuk berusaha agar bukan hanya ia berjuang dan bermanfaat. Ia akan mengajak orang lain, memberdayakan dan mendorong mereka untuk ikut serta dalam upaya pengabdian diri pada negara, pada tanah air. Bahkan ketika ia tidak memiliki kemampuan besar, ia akan tetap berusaha mendayagunakan diri dan ikut andil dalam setiap perkembangan kemajuan.

Jadi, rasa cinta tanah air ini akan membentuk SDM menjadi seorang negarawan yang berjuang dan berusaha untuk negaranya dengan segala yang ia miliki, serta memberinya kesadaran bahwa bertindak bersama akan memberi perubahan yang nyata terhadap hasil yang didapat. Lalu, tentu saja imbalan atau keuntungan yang didapat akan menjadi nomor kesekian ribu dalam perhitungannya. Prinsipnya, “Don’t ask what you get, but ask what you give”.

Akan tetapi, rasa cinta tanah air maupun kekuatan prinsip itu hanya sebuah konsep belaka jika tidak dibuktikan. Pembuktiannya cukup mudah, yakni, seperti yang pernah diucapkan Presiden Sukarno, berpikir, bertindak, baru berbicara.

Thinking Globally, Acting Locally, Speaking Honestly
            Masih ingat lirik lagu perjuangan yang berjudul Tanah Air? Baiklah, mari bersenandung sejenak lagi.

Tanah air ku tidak kulupakan, ‘Kan terkenang selama hidupku

Biarpun saya pergi jauh, Tidak ‘kan hilang dari kalbu

Tanah ku yang kucintai, Engkau kuhargai
Biarpun banyak negeri kujalani, Yang mahsyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah ku m’rasa senang
Tanah ku tak kulupakan, engkau kubanggakan
            Ya, lagu itu bercerita tentang keyakinan pada tanah air meskipun diri telah banyak bepergian ke luar negeri. Artinya, dimanapun berada, identitas bangsa dan negara tidak akan dihilangkan.

Seorang SDM dengan potensi besar tentu tidak bisa dibiarkan diam dalam tempatnya. Ia haruslah bergerak, mencari ilmu, menggali pengalaman, merasakan garam kehidupan, yang kemudian akan ia dedikasikan kepada negerinya ketika sudah pada waktunya nanti. Istilahnya, biarkan ia merantau, merasakan sari pati hidup, dan menjawab ujian dari rasa cinta pada tanah airnya. Karena pada saat itu (merantau) segala kemungkinan akan terjadi, baik kemungkinan baik ataupun buruk. Kenyataan hidup akan terlihat jelas, yang biasanya sangat berbeda dengan prinsip-prinsip atau teori-teori yang ada. Jadi pada saat itulah kekuatan cinta tanah air akan diuji, apakah seorang SDM akan tetap memegang prinsipnya, atau menyerah pada kenyataan.

Istilah merantau dalam hal ini bukan secara harfiah atau dalam arti harus bepergian ke luar negeri atau berpetualang keliling dunia. Bukan seperti itu. Sebab yang lebih penting sebenarnya adalah pengembangan pemikiran. Menggali ilmu sedalam-dalamnya, mengasah ketajaman berpikir, mempelajari bentuk-bentuk kehidupan dunia. Hingga akhirnya membentuk pola berpikir yang luas dan jauh ke depan, pola pemikiran yang modern dan berkembang. Istilahnya, Thinking Globally.
Akan tetapi dalam eksekusinya, tindakan yang mencerminkan cinta tanah air-lah yang diambilnya. Seperti apa? Ya, bersikap tenggang rasa dan penuh toleransi, bertanggung jawab dalam setiap tindakannya, mengutamakan kebersamaan dan kerja sama, tetap menjaga dan melestarikan adat budaya, dan selera tetap bercita rasa tanah air. Jadi, meskipun memiliki pengetahuan dan pemikiran yang modern, identitas bangsa dan negara tetaplah dijaga yang terefleksikan pada setiap tindakan yang diambil. Well, Acting Locally beraksi di sini.

Pemikiran maupun tindakan hanya akan menjadi pengalaman yang sekali lewat, atau hanya akan dinikmati diri sendiri ketika tidak diungkapkan. Artinya, kedua hal tersebut perlu dipaparkan kepada umum sebab tentu saja ide pikiran yang sama dari banyak orang akan lebih kuat daripada dari seorang saja. Pengungkapan ini tidak hanya berupa lisan saja, tapi juga bisa berupa tulisan. Sebab inti dari pengungkapan ini adalah bagaimana ide dan tujuan tindakan bisa tersampaikan kepada orang lain, sehingga bisa memberi inspirasi dan pengaruh dalam tindakan mereka. Dan yang menjadi poin penting dalam pengungkapan ini adalah kejujuran. Layaknya sebuah pepatah lama, bahwa “kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana saja”. Begitu juga dengan kejujuran pengungkapan. Jadi Speaking Honestly adalah kunci utama dalam keberhasilan mewujudkan rasa cinta tanah air.
Thinking globally membentuk kerangka berpikir yang luas dan menyeluruh, Acting locally menyatakan pemikiran dalam bentuk tindakan yang tetap memegang nilai-nilai adat budaya, dan Speaking honestly memungkinkan pikiran dan tindakan bukan hanya oleh diri sendiri tapi juga bisa disebarluakan pada orang lain. Ya, sebuah konsep pemberdayaan yang harus dilakukan oleh seorang negarawan, yakni SDM yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk membangun negaranya.

Negarawan Home – Away
Ketika rasa cinta tanah air menjadi dasar dari setiap pemikiran, tindakan, dan ucapan dari SDM yang berpotensi, hal ini akan mempengaruhi orientasi tujuan perbuatannya. Rasa cinta tanah air membentuk pribadi yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Artinya, itulah yang harus ditanamkan dalam diri sebelum bertindak lebih jauh. Setelah tertanam, tinggal dipupuk hingga akhirnya rasa cinta tanah air itu tumbuh besar dan menjadi panduan dalam setiap perbuatan.
Lalu setelah rasa cinta tanah air tertanam, saatnya bertindak pada kehidupan nyata di luar segala teori. Dimana, tindakan yang dilakukan adalah untuk dan hanya untuk kemajuan negara. Dan sadar bahwa, kekuatan yang sesungguhnya bukan dari diri sendiri saja, tapi dari banyak orang dengan berbagai mimpinya tapi memiliki visi yang sama. Berjuang demi negara yang dicintai. Karakter SDM seperti itulah yang memiliki potensi besar untuk kemajuan negara.
Well, dari awal selalu dibicarakan SDM yang berpotensi, tapi siapa yang disebut sebagai SDM yang berpotensi itu? Tentu saja pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia yang memiliki jiwa negarawan, yang bermetamorfosis menjadi calon penerus bangsa. Negarawan muda yang menang di kandang, dan menjadi bintang di tandang. Negarawan Muda Home – Away.
 
Tentang Penulis
Nama : Eri Doni
Studi : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Facebook : Kang Umar Ali
Twitter :  @kang_umar_ali



0 komentar :

Posting Komentar